Friday 18 September 2015

(CERBUNG) 31 DAYS 7 Xtion Part Four

*PART FOUR*
Frans tidak melihat siapapun. Hanya melihat ruangan kosong. Zidan yang mengikutinya dari belakang juga ikutan melongok. Melihat sekeliling, Frans menemui ujung sepatu yang mengumpat di balik tembok. Frans curiga dan mencoba untuk mendekat. Sekitar tiga kaki melangkah, ponsel Zidan berbunyi dan menghentikan langkah Frans untuk mendekatinya.
            “Halo.” jawab Zidan.
            “Iya. Saya mengerti.” Zidan menutup telp itu.
            “Saya harus pergi sekarang.” tambah Zidan.
            “Baik Pak. Saya akan mnegantar anda keluar. Silahkan!” jawab Frans.
Akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan ruangan tersebut dan tidak mengetahui keberadaan Dina. Dina menghela napas karena berhasil sembunyi. Dirinya panik dan langsung keluar dari ruangan itu. Dina langsung pergi ketempat ia janjian dengan Gosa dan Rafi.
Gosa dan Rafi sudah memakan makanannya dengan lahap tanpa Dina.
            “Ah sedapnya…” kata Gosa.
            “Segerrr. Es ini rasanya aku benar-benar ingin memakannya sedikit-dikit agar tidak cepat habis.” sambung Rafi.
            “Habis, ya beli lagi. Kau punya banyak uang kan.” ejek Gosa.
            “Kanker Gos. Gajian belum turun.”
            “Kau pikir hujan, turun.” balas Gosa sambil memukul kepala Rafi dengan sumpit.
Tiba-tiba Dina datang. Dia berusaha biasa saja. Tidak memperlihatkan wajah takutnya. Namun karena napas berat Dina, akhirnya Gosa dan Rafi menanyakkan pertanyaan yang aneh-aneh.
            “Hei Din, kamu kenapa?”
            “Apa yang membuatmu sampai napasmu berat seperti itu?”
            “Kamu seperti melihat hantu? Ah kamu bermain kejar-kejaran dengan hantu lagi kan? Iya kan?” ejek Gosa.
            “Bukan… bukan begitu. (Dina duduk) gimana cara aku bilangnya ya?” jawab Dina.
            “Bilang apa?”
            “Aku tau siapa pembunuh berantai itu selama ini.” jawab Dina.
            “Siapa?”
            “Siapa itu?”
            “Ahhh aku tidak bisa bilang.” kata Dina sambil memperhatikan sekeliling takut ada spy.
            “Kamu lihat apa? Hoh?”
            “Kamu membuatku takut.” kata Gosa yang ikut melihat sekeliling.
Kemudian Dina mengambil ponselnya, menghubungi Dion.Namun tidak diangkat.
***
Di ruang kerja perusahaan Dion, ia terlihat kesal. Tidak terima dengan perlakuan kakaknya yang sengaja secara tidak langsung ingin menjatuhkan dirinya melalui kata-katanya pada saat rapat tadi. Dion pun sampai tidak sadar bahwa ponselnya berdering.
            “Tuan, apakah anda tidak mengangkat telponnya?” tanya Sekretaris Joe.
            “Tuan…. Tuan… (pelan) Tuan….(keras).” Sambung Sekretaris Joe lagi.
Teriakan Joe tidak hanya menganggetkan Dion tetapi seluruh orang yang sedang bekerja, yang jaraknya berada dekat dengan ruangan tersebut.
            “Kau menganggetkanku.” jawab Dion smabil menjawab telponnya.
            “Halo.”
            “Halo. Dion apakah kamu punya waktu? Ada hal yang ingin aku bicarakan?” kata Dina.
            “Hal apa?”
            “Kita bertemu saja.”
            “Lihatlah kelakuan junior satu ini, tidak menghargai seniornya yang sedang ngomong, dia malah ingin memberitahunya ke orang lain ketimbang kita.” gerutu Gosa.
            “Kirimkan pesan tempatnya.” jawab Dion menutup telponnya.
Dina segera pergi tanpa pamit kepada Rafi dan Gosa. Sesampainya di sebuah café tempat mereka janjian, Dina datang lebih dulu. Tak lama kemudian, Dion datang.
            “Duduk. Duduk.” kata Dina.
            “Ada apa? Penting banget kah?” jawab Dion.
            “Penting. Sangat penting. Hhmm.. Aku tidak tau harus mulai dari mana. Agar kamu tidak sakit hati.” sambung Dina.
            “Ada apa? Sampai aku akan merasakan itu?” jawab Dion.
            “Ini tentang… pembunuhan itu… pelakunya. Aku menemukannya.”
            “Kamu serius? Siapa? Cerita padaku!”
            (Dina memberikan hasil rekaman yang ada di ponselnya kepada Dion)
Disitu Dion mendengar semua percakapan abangnya kepada Frans. Rasa tidak percaya bahwa abangnya lah yang membunuh semua sanak keluarganya hanya untuk keserakahan memimpin perusahaan SIMA Group. Dan data anggaran yang hilang itu ternyata dicuri oleh abangnya sendiri agar Dion tidak bisa melanjutkan presentasinya di para pemegang saham justru malah akan diturunkan jabatannya. Dion pun mengepalkan genggamannya dengan wajah yang penuh emosi.
            “Dari mana kau dapat rekaman ini?”
            “Di kantor. Aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka di ruang ketua tim. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan seserius itu dan ternyata ini hasilnya.” jawab Dina.
            “Bajingan. Aku akan membunuhmu. Lihat saja nanti.” kata Dion yang masih mengepalkan tangannya.  Secara sadar, Dina memegang tangan Dion untuk menenangkannya. Hal itu membuat emosi Dion reda dan membalas sentuhan itu.
            “Tenang saja. Mereka tidak akan bisa membunuh kita berdua. Aku akan menjagamu. Aku janji,” kata Dion.
            “Hm… aku juga akan menjagamu.”
Kemudian Dion mengantarkan Dina pulang. Dina menyewa sebuah rumah berukuran kecil untuk di tempati. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Dina hidup seorang diri. Di daerah dia bekerja tidak ada keluarga satu pun.
            “Saudara ku tinggal di pulau sumatera. Karena jaraknya jauh mereka tidak pernah datang kesini.” jelas Dina kepada Dion yang menanyainya.
            “Oh seperti itu.”
            “Kenapa? Kamu merasa kasihan sama aku?” tanya Dina.
            “Tidak. Tidak. Apa yang aku perlu kasihani darimu.”
            “Kamu beruntung. Bisa menikmati semua kehidupanmu dengan uang yang kau punya. Hanya duduk manis kamu mendapatkan uang yang banyak. Sedangkan aku, aku harus berlarian, mengejar penjahat sana-sini, bahkan sampai melukai diriku sendiri, baru bisa mendapatakan uang. Hidup itu ternyata penuh dengan perjuangan. Dan anggap aja perjuangan itu sebagai pengalaman.” tambah Dina yang masih terpasang dengan safety belt nya sambil tertawa kecil.
            (Dion menatap tajam wajah Dina)
            “Kenapa kamu melihat aku seperti itu? Merasa tersentuh sehabis mendengar ceritaku? Sudahlah, tidak usah seperti itu. Tidak akan merubah kehidu… (Dina menolehkan wajahnya ke arah Dion, dan Dion langsung mencium bibir Dina dan membuat perkataannya terhenti serta kaget)
            “Apa yang kamu lakukan?” kata Dina berontak sambil melepaskan ciuman tersebut.
            “Apa yang telah kulakukan?!” tanya Dion salah tingkah.
Dina hanya memegangi bibir yang sehabis disentuh oleh Dion. Dia tak percaya Dion akan melakukan hal gila seperti tadi. Apa yang membuatnya melakukan itu? apa yang ada dipikiran dia? Pikirnya. Dina dan Dion saling merasa malu, terutama Dion akan perbuatannya. Dina buru-buru langsung keluar dari mobil dengan sikap yang salah tingkah juga. Kemudian, Dion mengejar Dina. Menarik tangannya untuk diajak berbicara. Namun Dina hanya tertunduk malu.
            “Angkat kepalamu!” kata Dion.
            “Aku malu.” jawabnya.
            “Kenapa harus malu? Memang kita melakukan hal yang salah?” tanya Dion.
            “Iya!” jawab Dina keras mengangkat kepalanya dekat tepat dengan wajah Dion.
            “Lagi, kenapa kamu bisa sampai ngelakuin hal ini? Ah ini buat aku gila.” tambah Dina.
            “Kenapa? Atau jangan-jangan ini pertama kali kamu ngelakuin ini? Iya?” ejek Dion.
            “Hah?”
            “Benar. Diliat dari ekspresi kamu pasti ini pertama kali kamu melakukan ciuman. Jika memang pertama kali, berarti aku cowok pertama yang cium kamu? Wah.. amazing….” ejek Dion lagi membuat Dina semakin ingin menyembunyikan wajahmu.
            “Kamu ngejar aku sampai sini Cuma untuk meledekku seperti ini?” tanya Dina.
            “Aku tidak meledek, aku hanya bertanya. Kenapa kamu jadi marah? Tapi bener kan?”
            “Diam!” jawab Dina.
            “Kalau kamu belum pernah berciuman berarti itu tandanya.. kamu… belum pernah pacaran.” sambung Dion lagi.
            “Heiii. Harus aku jahit mulutmu agar tidak banyak bicara.” Sahut Dina sambil memukul pundak Dion kesal.
            “Bukannya aku tidak ingin pacaran, sebenarnya banyak laki-laki yang mengejarku. Karena ku tipe orang pemilih jadi aku tolak semua.” tutur Dina lagi.
            “Ohya, tampang mu tidak terlihat seperti itu. Kamu memiliki wajah yang polos. Tidak mungkin ada orang yang tertarik pada wajah seorang gadis yang polos.” Ledek Dion lagi.
            “Dionnn. Sekali lagi kamu ngomong benar-benar aku jahit mulutmu ya.” Jawab Dina kesal.
            “Oke. Aku tidak akan bicara lagi. Kalau begitu sekarang kamu masuk ke dalam. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku.” Sambung Dion.
            “Oke.”
Dina masuk ke dalam rumah kecilnya dan meninggalkan Dion yang masih menunggu dirinya untuk masuk ke dalam rumahnya.
            “Selamat malam.” Teriak Dion.
Dina menoleh dan hanya tersenyum. Dina pun membuka pintu nya dan masuk, segera untuk menyalakan lampu untuk menerangi ruangannya. Dina memasuki kamar mandi. Berniat untuk membilaskan badannya, Dina melihat tulisan huruf X berlumuran darah di kaca yang besar. Dan sesosok pria misterius dengan jubah hitam menutupi kepalanya muncul, mendekati Dina sambil memegang sebuah pisau di tangannya. Dina pun berteriak dan dirinya terjatuh ke lantai ketakutan dengan badan yang gemetar. Sontak teriakan Dina itu terdengar oleh Dion yang masih berada di luar yang hendak masuk ke dalam mobil. Dion pun berlari ke dalam rumah Dina, mencoba membuka pintu namun pintu rumah dalam keadaan terkunci yang menyulitkan Dion untuk masuk ke dalam rumahnya.
            “Dina, kamu gapapa? Dina buka pintunya.” teriak Dion yang juga berusaha mendobrak pintu namun tak berhasil.
Sementara Dina masih berteriak ketakutan karena pria misterius itu semakin mendekati dirinya. Teriakan Dina itu justru membuat Dion semakin panik dan berusaha keras untuk mendobrak pintunya.

~To Be Continued~

Wednesday 2 September 2015

PUISI: Cahaya Bulan

Ku berdiri
Memandang langit malam
Ku melihat sebuah bulan memandang ke arahku
Oh.. Betapa indahnya
            Di temani bintang-bintang         
Ingin ku menggapai satu di antaramu
            Mimpiku adalah impianku
            Semangat ku untuk mewujudkan harapanku
Cahaya bulan yang menerangi dunia
Di kelap malam
Hanya kau yang mampu bertahan dinginnya malam
Ku harap kau baik-baik saja
            Cahaya bulan dengarkan permintaanku
            Ku ingin kirimkan seseorang untukku
            Seseorang yang ada di dalam hatiku
            Sampaikan pesanku untuknya

            Bahwa ku merindukannya