Friday 18 September 2015

(CERBUNG) 31 DAYS 7 Xtion Part Four

*PART FOUR*
Frans tidak melihat siapapun. Hanya melihat ruangan kosong. Zidan yang mengikutinya dari belakang juga ikutan melongok. Melihat sekeliling, Frans menemui ujung sepatu yang mengumpat di balik tembok. Frans curiga dan mencoba untuk mendekat. Sekitar tiga kaki melangkah, ponsel Zidan berbunyi dan menghentikan langkah Frans untuk mendekatinya.
            “Halo.” jawab Zidan.
            “Iya. Saya mengerti.” Zidan menutup telp itu.
            “Saya harus pergi sekarang.” tambah Zidan.
            “Baik Pak. Saya akan mnegantar anda keluar. Silahkan!” jawab Frans.
Akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan ruangan tersebut dan tidak mengetahui keberadaan Dina. Dina menghela napas karena berhasil sembunyi. Dirinya panik dan langsung keluar dari ruangan itu. Dina langsung pergi ketempat ia janjian dengan Gosa dan Rafi.
Gosa dan Rafi sudah memakan makanannya dengan lahap tanpa Dina.
            “Ah sedapnya…” kata Gosa.
            “Segerrr. Es ini rasanya aku benar-benar ingin memakannya sedikit-dikit agar tidak cepat habis.” sambung Rafi.
            “Habis, ya beli lagi. Kau punya banyak uang kan.” ejek Gosa.
            “Kanker Gos. Gajian belum turun.”
            “Kau pikir hujan, turun.” balas Gosa sambil memukul kepala Rafi dengan sumpit.
Tiba-tiba Dina datang. Dia berusaha biasa saja. Tidak memperlihatkan wajah takutnya. Namun karena napas berat Dina, akhirnya Gosa dan Rafi menanyakkan pertanyaan yang aneh-aneh.
            “Hei Din, kamu kenapa?”
            “Apa yang membuatmu sampai napasmu berat seperti itu?”
            “Kamu seperti melihat hantu? Ah kamu bermain kejar-kejaran dengan hantu lagi kan? Iya kan?” ejek Gosa.
            “Bukan… bukan begitu. (Dina duduk) gimana cara aku bilangnya ya?” jawab Dina.
            “Bilang apa?”
            “Aku tau siapa pembunuh berantai itu selama ini.” jawab Dina.
            “Siapa?”
            “Siapa itu?”
            “Ahhh aku tidak bisa bilang.” kata Dina sambil memperhatikan sekeliling takut ada spy.
            “Kamu lihat apa? Hoh?”
            “Kamu membuatku takut.” kata Gosa yang ikut melihat sekeliling.
Kemudian Dina mengambil ponselnya, menghubungi Dion.Namun tidak diangkat.
***
Di ruang kerja perusahaan Dion, ia terlihat kesal. Tidak terima dengan perlakuan kakaknya yang sengaja secara tidak langsung ingin menjatuhkan dirinya melalui kata-katanya pada saat rapat tadi. Dion pun sampai tidak sadar bahwa ponselnya berdering.
            “Tuan, apakah anda tidak mengangkat telponnya?” tanya Sekretaris Joe.
            “Tuan…. Tuan… (pelan) Tuan….(keras).” Sambung Sekretaris Joe lagi.
Teriakan Joe tidak hanya menganggetkan Dion tetapi seluruh orang yang sedang bekerja, yang jaraknya berada dekat dengan ruangan tersebut.
            “Kau menganggetkanku.” jawab Dion smabil menjawab telponnya.
            “Halo.”
            “Halo. Dion apakah kamu punya waktu? Ada hal yang ingin aku bicarakan?” kata Dina.
            “Hal apa?”
            “Kita bertemu saja.”
            “Lihatlah kelakuan junior satu ini, tidak menghargai seniornya yang sedang ngomong, dia malah ingin memberitahunya ke orang lain ketimbang kita.” gerutu Gosa.
            “Kirimkan pesan tempatnya.” jawab Dion menutup telponnya.
Dina segera pergi tanpa pamit kepada Rafi dan Gosa. Sesampainya di sebuah café tempat mereka janjian, Dina datang lebih dulu. Tak lama kemudian, Dion datang.
            “Duduk. Duduk.” kata Dina.
            “Ada apa? Penting banget kah?” jawab Dion.
            “Penting. Sangat penting. Hhmm.. Aku tidak tau harus mulai dari mana. Agar kamu tidak sakit hati.” sambung Dina.
            “Ada apa? Sampai aku akan merasakan itu?” jawab Dion.
            “Ini tentang… pembunuhan itu… pelakunya. Aku menemukannya.”
            “Kamu serius? Siapa? Cerita padaku!”
            (Dina memberikan hasil rekaman yang ada di ponselnya kepada Dion)
Disitu Dion mendengar semua percakapan abangnya kepada Frans. Rasa tidak percaya bahwa abangnya lah yang membunuh semua sanak keluarganya hanya untuk keserakahan memimpin perusahaan SIMA Group. Dan data anggaran yang hilang itu ternyata dicuri oleh abangnya sendiri agar Dion tidak bisa melanjutkan presentasinya di para pemegang saham justru malah akan diturunkan jabatannya. Dion pun mengepalkan genggamannya dengan wajah yang penuh emosi.
            “Dari mana kau dapat rekaman ini?”
            “Di kantor. Aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka di ruang ketua tim. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan seserius itu dan ternyata ini hasilnya.” jawab Dina.
            “Bajingan. Aku akan membunuhmu. Lihat saja nanti.” kata Dion yang masih mengepalkan tangannya.  Secara sadar, Dina memegang tangan Dion untuk menenangkannya. Hal itu membuat emosi Dion reda dan membalas sentuhan itu.
            “Tenang saja. Mereka tidak akan bisa membunuh kita berdua. Aku akan menjagamu. Aku janji,” kata Dion.
            “Hm… aku juga akan menjagamu.”
Kemudian Dion mengantarkan Dina pulang. Dina menyewa sebuah rumah berukuran kecil untuk di tempati. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Dina hidup seorang diri. Di daerah dia bekerja tidak ada keluarga satu pun.
            “Saudara ku tinggal di pulau sumatera. Karena jaraknya jauh mereka tidak pernah datang kesini.” jelas Dina kepada Dion yang menanyainya.
            “Oh seperti itu.”
            “Kenapa? Kamu merasa kasihan sama aku?” tanya Dina.
            “Tidak. Tidak. Apa yang aku perlu kasihani darimu.”
            “Kamu beruntung. Bisa menikmati semua kehidupanmu dengan uang yang kau punya. Hanya duduk manis kamu mendapatkan uang yang banyak. Sedangkan aku, aku harus berlarian, mengejar penjahat sana-sini, bahkan sampai melukai diriku sendiri, baru bisa mendapatakan uang. Hidup itu ternyata penuh dengan perjuangan. Dan anggap aja perjuangan itu sebagai pengalaman.” tambah Dina yang masih terpasang dengan safety belt nya sambil tertawa kecil.
            (Dion menatap tajam wajah Dina)
            “Kenapa kamu melihat aku seperti itu? Merasa tersentuh sehabis mendengar ceritaku? Sudahlah, tidak usah seperti itu. Tidak akan merubah kehidu… (Dina menolehkan wajahnya ke arah Dion, dan Dion langsung mencium bibir Dina dan membuat perkataannya terhenti serta kaget)
            “Apa yang kamu lakukan?” kata Dina berontak sambil melepaskan ciuman tersebut.
            “Apa yang telah kulakukan?!” tanya Dion salah tingkah.
Dina hanya memegangi bibir yang sehabis disentuh oleh Dion. Dia tak percaya Dion akan melakukan hal gila seperti tadi. Apa yang membuatnya melakukan itu? apa yang ada dipikiran dia? Pikirnya. Dina dan Dion saling merasa malu, terutama Dion akan perbuatannya. Dina buru-buru langsung keluar dari mobil dengan sikap yang salah tingkah juga. Kemudian, Dion mengejar Dina. Menarik tangannya untuk diajak berbicara. Namun Dina hanya tertunduk malu.
            “Angkat kepalamu!” kata Dion.
            “Aku malu.” jawabnya.
            “Kenapa harus malu? Memang kita melakukan hal yang salah?” tanya Dion.
            “Iya!” jawab Dina keras mengangkat kepalanya dekat tepat dengan wajah Dion.
            “Lagi, kenapa kamu bisa sampai ngelakuin hal ini? Ah ini buat aku gila.” tambah Dina.
            “Kenapa? Atau jangan-jangan ini pertama kali kamu ngelakuin ini? Iya?” ejek Dion.
            “Hah?”
            “Benar. Diliat dari ekspresi kamu pasti ini pertama kali kamu melakukan ciuman. Jika memang pertama kali, berarti aku cowok pertama yang cium kamu? Wah.. amazing….” ejek Dion lagi membuat Dina semakin ingin menyembunyikan wajahmu.
            “Kamu ngejar aku sampai sini Cuma untuk meledekku seperti ini?” tanya Dina.
            “Aku tidak meledek, aku hanya bertanya. Kenapa kamu jadi marah? Tapi bener kan?”
            “Diam!” jawab Dina.
            “Kalau kamu belum pernah berciuman berarti itu tandanya.. kamu… belum pernah pacaran.” sambung Dion lagi.
            “Heiii. Harus aku jahit mulutmu agar tidak banyak bicara.” Sahut Dina sambil memukul pundak Dion kesal.
            “Bukannya aku tidak ingin pacaran, sebenarnya banyak laki-laki yang mengejarku. Karena ku tipe orang pemilih jadi aku tolak semua.” tutur Dina lagi.
            “Ohya, tampang mu tidak terlihat seperti itu. Kamu memiliki wajah yang polos. Tidak mungkin ada orang yang tertarik pada wajah seorang gadis yang polos.” Ledek Dion lagi.
            “Dionnn. Sekali lagi kamu ngomong benar-benar aku jahit mulutmu ya.” Jawab Dina kesal.
            “Oke. Aku tidak akan bicara lagi. Kalau begitu sekarang kamu masuk ke dalam. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku.” Sambung Dion.
            “Oke.”
Dina masuk ke dalam rumah kecilnya dan meninggalkan Dion yang masih menunggu dirinya untuk masuk ke dalam rumahnya.
            “Selamat malam.” Teriak Dion.
Dina menoleh dan hanya tersenyum. Dina pun membuka pintu nya dan masuk, segera untuk menyalakan lampu untuk menerangi ruangannya. Dina memasuki kamar mandi. Berniat untuk membilaskan badannya, Dina melihat tulisan huruf X berlumuran darah di kaca yang besar. Dan sesosok pria misterius dengan jubah hitam menutupi kepalanya muncul, mendekati Dina sambil memegang sebuah pisau di tangannya. Dina pun berteriak dan dirinya terjatuh ke lantai ketakutan dengan badan yang gemetar. Sontak teriakan Dina itu terdengar oleh Dion yang masih berada di luar yang hendak masuk ke dalam mobil. Dion pun berlari ke dalam rumah Dina, mencoba membuka pintu namun pintu rumah dalam keadaan terkunci yang menyulitkan Dion untuk masuk ke dalam rumahnya.
            “Dina, kamu gapapa? Dina buka pintunya.” teriak Dion yang juga berusaha mendobrak pintu namun tak berhasil.
Sementara Dina masih berteriak ketakutan karena pria misterius itu semakin mendekati dirinya. Teriakan Dina itu justru membuat Dion semakin panik dan berusaha keras untuk mendobrak pintunya.

~To Be Continued~

Wednesday 2 September 2015

PUISI: Cahaya Bulan

Ku berdiri
Memandang langit malam
Ku melihat sebuah bulan memandang ke arahku
Oh.. Betapa indahnya
            Di temani bintang-bintang         
Ingin ku menggapai satu di antaramu
            Mimpiku adalah impianku
            Semangat ku untuk mewujudkan harapanku
Cahaya bulan yang menerangi dunia
Di kelap malam
Hanya kau yang mampu bertahan dinginnya malam
Ku harap kau baik-baik saja
            Cahaya bulan dengarkan permintaanku
            Ku ingin kirimkan seseorang untukku
            Seseorang yang ada di dalam hatiku
            Sampaikan pesanku untuknya

            Bahwa ku merindukannya

Monday 31 August 2015

(CERBUNG) 31 DAYS 7 Xtion Part Three

*PART THREE*
Masih memegang erat pundak Dina. Dina merasa sangat ketakutan jika hal mengerikan akan terjadi pada dirinya. Sekilas ia mengingat perkataan nenek tua tadi pagi bahwa dia akan mengalami masa-masa buruk. Apalagi ini salah satunya? Dina segera mengambil ponsel nya untuk menghubungi rekan kerjanya, namun tidak ada. Ia baru sadar bahwa ponselnya hilang.
            “Kenapa kamu tidak jawab?” kata Dion.
            “Jawab apa?” jawab Dina terbata-bata.
            “Kenapa kau bisa memiliki gelang ini (sambil menunjukkan gelangnya).”
            “Hah? Itu… itu….”
            “Itu apa?”
            (Wajah Dina tegang) “Aku menemukan gelang itu… saat…. pada korban. Ah bukan bukan, gelang itu aku temukan di samping tubuh korban yang meninggal pada 12 april lalu. Puas?” jawaban Dina melepaskan tangan Dion dari pundaknya dan Dina merasa kesakitan.
            (Dion terdiam sejenak)
            “Ada apa? Hoh? Ada yang salah? Kenapa wajahmu seperti itu? Setidaknya ngomong sesuatu kek.” kata Dina.
Kemudian Dion mengajak Dina untuk duduk di kursi tamu. Mereka berdua memulai pembicaraan serius.
            “Apa yang kamu pikirkan tentang gelang itu?” tanya Dion.
            “Pembunuh.”
            “Kamu yakin itu miliknya?”
            (Dina mengangguk)
            “Kamu pikir itu milikku? Dan aku pembunuhnya?” tanya Dion lagi.
            “I—ya.” jawab Dina sambil menggeser menjauh dari Dion.
            (Dion tertawa kecil) “Gila.”

Kemudian Dion bangkit dari duduknya dan mengambil buku X dari laci mejanya. Dion pun membuka buku tersebut dan terdapat kalung X di dalamnya. Itu membuat Dina kaget. Dion membuka lembar demi lembar buku tersebut sambil memperlihatkannya ke Dina. Betapa terkejutnya bahwa buku tersebut berisikan data korban yang dibunuh sama dengan data pembunuhan yang dimiliki oleh pihak kepolisian.
            “Astaga. Ini semua…. Waw…” kata Dina sambil menatap Dion.
            “Aku memiliki ini sejak sebulan yang lalu. Awalnya aku kira ini hanya sebuah catatan kosong. Tapi ternyata di dalamnya berisikan nama-nama orang dari keluargaku. Dan nama-nama tersebut telah meninggal dunia. Salah satunya ayahku.” Dion menjelaskan.
Dina yang mendengar hal itu sedikit tersentuh, bahwa ayahnya menjadi salah satu korban pembunuhan berantai. Itu tandanya bukan Dion lah pelakunya. Tidak mungkin anak membunuh ayah kandungnya sendiri. Pikir Dina.
            “Ayah mu?”
            “Ya. Ayahku meninggal pada 12 April 2015. Dan kematiannya sangatlah tidak masuk akal. Awalnya kesehatan ayahku baik-baik saja. Dia rajin berolahraga bahkan memakan makanan yang sehat. Tetapi tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa ayahku sudah berada di ruang UGD dan meninggal di lokasi kejadian. Aku juga tidak mengerti lokasi kejadian itu dimana. Kamu, kamu bilang nemuin gelang itu pada korban 12 april? Itu ayahku. Dimana tempat itu?” tanya Dion.
            “Korban itu ayah kamu? Kejadian itu juga masih dalam penyelidikan sebenarnya. Tapi sudah ditutup tanpa alasan yang jelas. Ketua tim bilang keluarga korban sudah menutup kasus itu, dan aku juga baru tahu kalau kamu salah satu keluarganya.” jelas Dina.
            “Keluarganya yang meminta? Hanya ada aku dan abangku? Mungkinkah abangku yang meminta menutupnya?” tanya Dion sambil berpikir.
            “Aku juga tidak tahu. Tapi saat aku menemukan mayat korban, tempatnya itu di pinggir sungai. Untuk memprediksi adanya kecelakaan tetapi tidak ada tanda-tanda pecahan kaca mobil atau sebagainya. Menurut perkiraanku, ayahmu di bunuh dan di buang ke tempat itu. Ada kemungkinan.” jelas Dina.
            “Dibunuh? Sama siapa?” kemudian Dion mengingat-ngingat kejadian dirumah sakit.

#Flashback
Suara denyut jantung seseorang yang sedang terbaring di ruang UGD telah berhenti. Dion pun menangisi kepergian sang ayah yang begitu cepat. Didampingi oleh sekretaris Joe dan beberapa orang dari pihak kepolisian untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Tak lama kemudian, Zidan datang berlarian. Zidan pun ikut hanyut dalam keharuan Dion.
            “Kenapa ayah saya bisa seperti ini?” tanya Zidan kepada polisi.
            “Kami juga sedang menyelidiki. Namun ada kemungkinan kasus ini adalah pembunuhan yang di sengaja Tuan.”
            “Pembunuhan sengaja? Siapa yang tega melakukan itu?” tanya Dion.
            “Bang, apakah ayah punya musuh? Setau ku tidak.” sambung Dion lagi.
Zidan pun memeluk Dion yang masih dalam tangis histerisnya. Namun ketika pelukan itu berlangsung, Dion berhenti menangis, melihat telapak tangannya berlumuran darah yang berasal dari jas milik Zidan.
            “Ini apa bang?” tanya Zidan melepaskan pelukannya.
            (Zidan terkejut) “Oh ini… tadi pas abang sedang menuju kesini ada kecelakaan mobil, jelas abang bantu mereka dan salah satu dari mereka ada anak kecil yang berlumuran darah jadi mungkin ini kena darah anak itu.” jelas Zidan.
            “Oh seperti itu.”
            “Yasudah abang ke kamar mandi dulu bersihin darah ini.”

Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan dan menyatakan bahwa ayahnda telah meninggal dunia. Dion pun masuk ke ruangan tersebut melihat sang ayah untuk yang terakhir kalinya. Zidan pun muncul di ruangan itu. Berdiri tepat di samping Dion. Akhirnya mereka semua pun pergi untuk mengurusi pemakaman ayahnda. Namun sebuah kalung jatuh dari saku jas Zidan. Kalung tersebut dipungut oleh Dion dan dikantongi. Sesampainya dirumah, mereka berdua pergi ke kamarnya masing-masing. Namun Dion hendak masuk ke kamarnya, ia malah pergi ke kamar abangnya berniat untuk mengembalikkan kalung itu. Ketika masuk ke kamar Zidan, ternyata Zidan sedang mandi. Ia meletakkan kalung tersebut di atas meja kerjanya. Tapi ketika Dion hendak pergi, mata dia tertuju pada sebuah buku yang menarik perhatiannya. Buku tersebut terletak di bawah tempat tidur. Dion heran mengapa buku sebagus ini bisa ada dibawah tempat tidur? Apakah mungkin abang lupa menaruhnya? Pikirnya.

Ketika Dion berniat untuk mengambil dan mengembalikkan buku tersebut ke dalam rak buku, ia membuka sedikit halamannya. Dan hal itu membuat dirinya kaget karena melihat adanya data diri ayahnya meninggal. Tak hanya itu, ada beberapa juga nama orang yang telah meninggal. Dan nama tersebut adalah orang-orang dari keluarganya sendiri. Dion bertanya-tanya apa maksud dari buku ini? Ketika sedang fokus mengamati daftar tersebut, bunyi suara air shower berhenti. Zidan sedang mengeringkan tubuhnya. Dion panik. Kemudian ketika lembar berikutnya dia buka, ada sebuah gambar kalung dan gelang berlambangkan huruf X dan huruf X tersebut seperti sebuah pedang. Dion pun mengambil kembali kalung yang telah dikembalikannya itu. Tiba-tiba Zidan keluar dari bathroom sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ketika keluar, Zidan melotot melihat suasana kamarnya tidak seperti biasanya. Ia melihat sekeliling namun tidak ada orang. Ia mengambil pakaian di lemarinya. Berpakaian rapi mengenakan setelan jas berwarna coklat muda. Ketika sibuk berdandan, ponsel miliknya bordering.
            “Hallo.” jawab Zidan.
            “Tuan, semua sudah beres. Kasus ini telah ditutup.”
            “Baiklah. Terima kasih atas kerja kerasmu, Frans. Pastikan kasus kematian ayahku tidak diungkit lagi.” jawab Zidan.
Mendengar hal itu, Dion yang mengumpat di bawah kolong meja kerja Zidan terkejut. Mengapa kasus kematian ayahnya ditutup tanpa izin dirinya. Hal ini juga berlaku pada kematian om nya dulu. Bahkan sejak ibu nya meninggal dunia karena sakit, Zidan tidak menuntut pihak rumah sakit karena kesalahan prosedur obat yang diberikan kepada ibunya dan menyebabkan ibunya meninggal.
#FlashbackEnd
            “Apa yang kamu pikirkan tentang ceritaku?” tanya Dion kepada Dina.
            (Dina menarik napas) “Entahlah. Aku pikir kita mempunyai pikiran yang sama. Tapi aku tidak terlalu yakin karena belum ada bukti.”
            “Jika memang benar abangku. Aku merasa menyesal. Apa yang membuat pikirannya sekeji itu untuk melakukannya.”
            “Apakah abangmu tidak mencari-cari buku dan kalung ini?”
            “Tidak. Dia tidak sadar jika ini semua ada di tanganku. Detektif Dina, mau kah kau menolongku? Mencari tahu tentang abangku?”
            (Dina kaget) “Kamu serius ingin menyelidiki abang mu sendiri? Jika ini terus berlanjut akan terjadi perperangan antara kamu dengan kakakmu.”
            “Keputusan yang ku ambil ini sangat tepat. Aku rasa dia tidak bekerja sendiri melainkan bersama orang lain. Fra… Frins.. augh aku lupa siapa namanya. F.. Frans.. iya Frans. Kalau tidak salah abangku menyebut nama itu ketika di telfon.”
            “Frans? Frans? Mirip dengan nama ketua tim di tempat kerjaku. Tapi tidak mungkin dia? Seorang ketua tim detektif membantu seseorang untuk melakukan pembunuhan itu? Tapi Zidan, jika memang benar abang mu yang melakukan semua pembunuhan sayatan itu, buat apa abangmu membunuh sanak keluargamu seperti itu?” tanya Dina.
            “Aku juga tidak tahu. Tapi pasti ada sesuatu.”
***
Diruang kerja Zidan, dia sedang duduk berpikir sambil menggoyangkan jemari tangannya secara bergantian sehingga menghasilkan sebuah nada. Kemudian ia berkata, “Aku hanya membuatmu tidur supaya tidak berisik!”
#Flashback
Ketika karyawan yang mengundurkan diri keluar dari ruangan Dion, ia berjalan hendak meninggalkan perusahaan. Tanpa sadar ternyata ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Lama kelamaan, karyawan itu pun sadar. Dengan mengambil langkah cepat dan menaiki sebuah tangga tanpa ada seorang pun yang melintas. Pria bertopeng itu pun langsung mendekap karyawan wanita itu dengan sapu tangan dan menyeretnya ke sebuah gudang.
            “Kau sudah bekerja keras sayang.” kata pria misterius itu.
            (Wanita itu ketakutan)
            “Aku sudah melakukan semua yang pak Zidan suruh, anda mau apalagi?”
            “Saya? Hhmm? Apa ya? Saya hanya minta kamu menutup mulut, tetapi kamu malah bilang bahwa harus berhati-hati dengan direktur? Itu saya? Saya sakit hati. Kamu tidak menepati janji kamu, itu tandanya saya harus mengingkari janji saya untuk menyelamatkan kamu.”
            “Maksud Tuan apa?”
            “Jangan takut. Aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan membuatmu tidur tenang selama-lamanya agar kamu tidak merasa takut. Tidak sakit kok.”
(Kemudian Zidan langsung menyuntikkan suntikan yang berisi cairan mematikan ke leher korban dan menaruh botol minuman di samping wanita itu, yang seolah-olah dia mati karena keracunan)
#FlashbackEnd
Kemudian seorang karyawan masuk memberitahu bahwa rapat dengan para pemegang saham akan segera dilaksanakan. Zidan bergegas kesana. Sesampainya disana, CEO Dion telah menduduki kursinya beserta dengan para pemegang saham yang sudah menunggu Zidan sedari tadi.
            “Maafkan saya karena terlambat.” kata Zidan.
            “Baiklah saya akan memulainya. Selamat siang. Terima kasih telah meluangkan waktu anda untuk hadir dalam rapat ini yang akan membicarakan data anggaran dan penjualan tahun ini. Sebelumnya… saya ingin meminta maaf, bahwa data tersebut telah hilang.” jelas Dion.
            “Apa?”
            “Apa maksudmu?”
            “Itu sangat penting untuk kami mengetahui keuntungan yang kami dapat.”
“Bagaimana bisa?” para pemegang saham berkomentar.
“Saya meminta maaf mewakili karyawan saya yang telah lalai mengurus hal itu.” kata Dion sambil membungkukan badannya.
(Zidan tersenyum)
“Bagaimana bisa kamu mengucapkan maaf seperti itu, jelas ini salahmu bukan karyawanmu. Jika saja kamu memperhatikannya lebih baik tidak akan terjadi seperti itu.”
“Semenjak perusahaan ini dibawah naunganmu tidak ada yang beres. Hal tak terduga terus saja terjadi. Ketika ayahmu memberikan semua sahamnya kepadamu, kamu tidak bisa menjaganya justru malah mengacaukannya. Bagaimana nasib perusahaan ini? Berita kematian salah satu karyawan pun sudah terekspos. Membuat investor jadi enggan menaruh sahamnya kepada kita.”
“Cukup Pak. Berikan adik saya waktu untuk menjelaskannya. Ini sepenuhnya bukan salah dia. Tapi ini salah kita semua, kenapa kita hanya harus mengandalkan satu orang jika orang lain juga bisa kita andalkan.” sahut Zidan dengan senyuman sambil melirik Dion.
(Dion hanya menatapi abang nya itu)
“Maksud pak Zidan kita harus memilih CEO yang baru?” kata seorang pemegang saham.
“Saya tahu anda paham.” jawab Zidan.
“Tidak bisa begitu pak. Saya baru beberapa hari duduk di kursi ini dan belum waktunya saya berdiri dari kursi ini. Harus sesuai dengan perjanjian kontrak.” sambung Dion.
“Perjanjian itu bisa berakhir ketika orang yang menandatangani perjanjian itu tidak memenuhi isi perjanjian itu. Dan anda tidak bisa memenuhinya.”
(Dion menghelas napas)
(Zidan hanya menonton perdebatan itu dengan senyum)
Rapat pun selesai.
***
Di kantor kepolisian, Dina terlihat diam memikirkan sesuatu. Ya! Dia memikirkan tawaran yang ditawarkan oleh Dion untuk bekerja sama menuntaskan kasus pembunuhan yang terjadi olehnya. Sesekali, Ia sempat kepikiran Ketua Tim. Apakah yang dimaksud dengan Dion itu benar Frans Ketua Tim? Kemudian dia juga mengingat-ngingat ekspresi Frans ketika Dina sedang mengajaknya berbicara dengan rekan yang lain mengenai gelang X yang diduga milik pelaku. Ketua Tim memilih pergi dari ruangan itu. Tiba-tiba Gosa dan Rafi menepuk pundak Dina, membuat dirinya terbangun dari lamunannya.
            “Lagi mikirin apa sih?” kata Rafi.
            “Oh. Gak. Gak lagi mikirin apa-apa.”
            “Ohiya, ada berita terbaru dari tim forensic. Kematian wanita dari perusahaan SIMA itu benar-benar keracunan. Di dalam minuman itu ada soda-soda yang membuatnya tidur dan melumpuhkan semua organ tubuhnya. Sebenarnya wanita itu bisa diselamatkan jika ditemukan satu jam setelah dia meminum dan dibawa kerumah sakit. Tetapi wanita itu justru ditemukan tiga jam kemudian.” jelas Rafi.
            “Tidak beruntung bagi dirinya.” sambung Gosa.
            “Tunggu.. jika memang benar dia keracunan akibat minuman itu, kita bisa mendatangi pabrik minuman itu untuk dimintai keterangan.”
            “Percuma. Minuman itu tidak terdaftar dalam produk apapun di Indonesia.” sahut Rafi.
            “Hanya ada satu di dunia.” sambung Gosa.
            “Ini aneh. Jika memang hanya satu di dunia, dari mana dia mendapatkan minuman itu?” tanya Dina.
            “Augh aku lapar. Kita makan yuk. Hhmm.. mie ayam gimana? Sepertinya enak.” ajak Gosa.
            “Setuju. Wah aku ingin yang pedes-pedes.” sambung Rafi.
            “Setuju. Aku ingin es campur, untuk mendinginkan pikiranku.” kata Dina.
Akhirnya mereka pun pergi meninggalkan kantor untuk makan. Ketika sudah berjalan sampai lobbi, mereka bertemu dengan Zidan.
            “Selamat siang pak. Wah ada keperluan apa anda datang kemari?” tanya Gosa.
            “Saya ingin menemui Ketua Tim. Apakah dia ada di ruangannya?” jawab Zidan.
            “Dia ada diruangannya pak.” jawab Rafi.
Zidan pun pamit pergi menuju ruangan Frans. Disaat seperti itu, Dina meraba-raba kantongnya ternyata ponselnya tidak ada.
            “Ada apa junior?” kata Gosa.
            “Ponsel ku tidak ada. Coba aku lihat ke meja ku dulu. Augh, aku tidak ingin kehilangan ponsel ku untuk yang kedua kalinya. Kalian duluan saja, nanti aku nyusul.” kata Dina.
            “Okay.”
Dina pun kembali ke mejanya dan melihat suasana kantor tidak ada orang satu pun;
            “Ketemu! Syukurlah.”

Ketika Dina hendak pergi meninggalkan ruang kerjanya, Dina mendengar suara percakapan serius yang berasal dari ruangan ketua tim. Ternyata disana ada Zidan dan Frans. Dina pun mengambil kesempatan ini untuk menguping, apakah benar mereka berdua saling berhubungan.

            “Aku sangat senang sekali. Akhirnya aku bisa membuat adikku berlutut. Aku sudah muak dengan gaya dia yang sombong, sok memimpin perusahaan. Akhirnya, sebentar lagi perusahaan itu akan jatuh ketanganku. Haha.” kata Zidan.
            “Kerja bagus Tuan. Saya sangat beruntung bertemu dengan orang sebaik anda. Jika saja anda tidak muncul waktu itu, ketika ibu saya sedang dalam keadaan sekarat dan memberikan sejumlah uang untuk operasi, ibu saya tidak akan hidup sampai sekarang. Terima kasih.”
            “Tidak perlu mengucapkan terima kasih sekarang. Saya hanya butuh orang yang bisa berada disamping saya tanpa pengkhianatan. Saya benci pengkhianatan. Itu sebabnya karyawan wanita di perusahaan saya mati.”
            “Jadi, anda yang membunuhnya?”
            “Tidak. Saya tidak membunuhnya. Saya hanya membuatnya tidur, karena dia sangat berisik. Saya tidak suka itu.”
Dina yang menguping dari balik pintu sangat terkejut. Dengan mulut yang ditutup dengan kedua tangannya sambil bergemetar, tidak menyangka bahwa ia mendengar pernyataan itu langsung dari pembunuhnya. Kemudian buru-buru Dina mengambil handphone untuk merekan semua percakapan mereka.
            “Lantas, atas tujuan apa anda kemari Tuan?” tanya Frans.
            “Hm. Saat ini aku sedang tidak nyaman dengan adikku. Dia membuatku gerah. Apakah kamu tau kalung milikku ada dengan siapa? Dengan adikku. Dia mengambil kalung dan buku X dari kamarku.”
#Flashback
Ketika Zidan keluar dari kamar mandi, ternyata ia melihat dari kaca yang berada didepannya bahwa adiknya sedang mengumpat di bawah kolong meja sambil memeluk sebuah buku dan kalung miliknya.
#FlashbackEnd
            “Anda ingin melakukan apa?” tanya Frans.
            “Karena dia sudah membuka pedangnya, aku harus menggunakannya. Tapi bukan aku yang melakukannya, tapi kau.” kata Zidan. “Jangan sampai dia mati, hanya perlu menggoresnya sedikit untuk tidak ikut campur dengan kasus seperti ini. Jika dia membantah, terpaksa aku harus membunuhnya.”
            “Apakah anda yakin?”
            “Ya. Uhm dan satu lagi, kamu bilang gelang milikmu ada pada wanita detektif itu? Saya yakin dia juga diam-diam mencari tahu tentang X. Aku pikir, kita juga perlu sedikit menggores anak itu juga.”
Mendengar hal itu, Dina semakin gemetaran. Tangan sampai kaki pun tidak bisa bergerak. Dina mulai khawatir bahwa ia benar-benar akan dibunuh. Hingga pada akhirnya, ponsel yang sedang merekam itu pun jatuh dari genggaman Dina. Dina panik, berusaha untuk mengambil kembali ponselnya. Ia memilih untuk pergi namun dirinya menabrak tong sampah yang mengakibatkan Frans dan Zidan berhenti dari percakapannya akibat suara yang kencang dan membangunkan dirinya dari kursinya bergegas keluar dari ruangan. Ketika Frans membuka pintu………… jreng…….!!!

~To Be Continued Part Four~
Apa yang akan dilakukan oleh Zidan dan Frans terhadap Dina?

Monday 24 August 2015

Money Changes Everything!

See the map of the world is so big.
I want to feel standing in one place.
A place that other people never visit.
A place not known by many people.
If at any time I was standing there.

Too many places I wanted to go.
But I can't.
My legs hindered to move because of something.
My eyes were prevented from seeing the beauty, because something.
Unobstructed ear to hear the sounds of nature, because something.
Blocked nose to breathe fresh air, because something.
My mouth was blocked to say "Wow beautiful" because of something.
My hands are prevented from touching objects in the world, because of something.
Something that can be felt by everyone.
In a film, there is one word that touches my heart:

"I make money to live or I live to make money?"

If we have a lot of money, people will certainly be closer to us and make them kneel.
If we are poor in money, then we were approached them and we will kneel.

But not all because of money.
Money will not be successful without the hard work and prayer.
DUIT.
Doa. Usaha. Ikhtiar. Tawakal.

Saturday 22 August 2015

(CERBUNG) 31 DAYS 7 Xtion Part Two

*PART TWO*
Dion masih dengan keadaan menatapi buku dan melepaskan kalungnya untuk diletakkan di lembar kertas tulisan itu. Tiba-tiba seorang pria mengetuk pintu ruangannya dan mengharuskan Dion buru-buru untuk meletakkan buku tersebut ke tempat semula.
            “Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Zidan.
            “Oh bang. Tidak aku sedang tidak melakukan apa-apa.” jawab Dion.
            “Sepertinya kau buru-buru menyebunyikan sesuatu. Apa itu?” tanya Zidan lagi.
            “Tidak bang tidak. (bangkit dari bangkunya) ada keperluan apa bang?” kata Dion.
            “Hanya berkunjung saja, memangnya tidak boleh sebagai abang aku mendatangi ke ruangan adikku bekerja?” jawab Zidan.
            “Haha bukan seperti itu bang. Boleh kok boleh sekali. Tapi aku bingung saja abang tiba-tiba datang kemari.” kata Dion heran.
            “Tentang file yang hilang di perusahaan, apakah sudah ada kabar dari pihak kepolisian?” tanya Zidan.
            “Belum bang. Kenapa? Apakah abang sudah tahu?” tanyanya.
       “Hoh? Tidak. Abang tidak tahu. Bagaimana ada orang selicik itu mencuri data anggaran perusahaan.”  jawab Zidan.
        “Entahlah bang. Padahal minggu depan data itu harus ku presentasikan ke para pemegang saham. Augh.. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan.” Dion mengeluh.
            (Zidan yang melihat tersenyum kecil dan kembali ke kamarnya)
Di kamar Zidan, Zidan duduk di ruang kerjanya sambil memegang sebuah map berwarna merah bertuliskan ‘KEUANGAN SIMA GROUP’
***
Kesokkan harinya di ruang rapat kepolisian, Dina mengumpulkan team nya untuk mendiskusikan kejadian kemarin. Dina mengeluarkan gelang X yang ia miliki di hadapan rekan-rekannya. Mereka pun tak mengerti apa maksud Dina.
            “Ini adalah gelang milik pelaku pembunuhan berantai tersebut.” Dina menjelaskan.
            (Ketua Tim kaget) “Dari mana kau?”
            “Ini aku temukan pada korban yang meninggal tanggal 12 April lalu.” jelasnya lagi. “Aku rasa pelaku tidak sengaja menjatuhkan ini ketika ia sedang beraksi.”
            (Gosa dan Rafi memegang gelangnya)
            “Wah. Dia benar-benar meninggalkan jejak yang menguntungkan bagi kita.” kata Rafi.
            (Tiba-tiba Ketua Tim mendapat panggilan telpon, namun ia tidak mendengarnya karena bengong menatap gelang itu)
            “Ketua Tim, apakah kau tidak akan mengangkat telp nya?” kata Dina.
            (Frans mengangkat telp) “Hallo.”
Ternyata ia mendapatkan panggilan dari Dion. Dion menanyakan perkembangan kasus pencurian yang terjadi di perusahaannya. Mendengar hal itu, Dina sedikit sensitive. Memangnya kita hanya mengurusi kasus kecil seperti itu, Dina mengoceh kesal.
            “Dina, tapi ngomong-ngomong ketika kau sedang berbicara berdua dengan Dion, kenapa tiba-tiba ekspresi wajahmu berubah?” tanya Gosa penasaran.
            (Semua orang menatap Dina yang juga penasaran)
            “Hei… kenapa kalian semua menatapku seperti itu.” kata Dina.
            (Semuanya tetap pada posisi yang sama)
            “Baiklah. Baiklah. Aku akan cerita. Sebenarnya aku tau siapa pembunuh berantai itu.” jelas Dina.
            “Siapa-siapa?” kata Rafi.
(Ketua Tim menatap tajam Dina)
            “Ini hanya kecurigaan ku saja, aku masih belum yakin karena aku belum menemukan bukti yang kuat untuk menyatakan bahwa dia pelakunya.” jelasnya lagi.
            “Ya siapa?” kata Gosa emosi karena Dina terlalu bertele-tele.
            “CEO Dion.” kata Dian.
            (Rafi dan  Gosa tertawa) “Hei tidak mungkin.” kata mereka berdua bersamaan.
            “Kamu curiga dengan CEO Dion?” tanya Ketua Tim.
            “Iya.”
            “Kenapa ketua? Apakah kau juga percaya padanya?” kata Gosa menatap Frans.
            “Aku tidak tahu.” kata Frans dan langsung meninggalkan ruang rapat yang belum selesai itu.
         “Junior, kau ini ngomong apa sih? Buat apa orang kaya membunuh orang? Apakah dia monster? Kau ini.” kata Gosa.
           “Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi setelah aku melihatnya dan mendalami lebih rinci lagi, pasti ada sesuatu yang tersembunyi tentang dia.” jawab Dina semakin penasaran tentang identitas Dion.
            “Melihatnya? Apa yang kau lihat?” tanya Rafi.
            “Simbol, sebuah symbol yang sama dengan yang ada di gelang ini. Aku melihat dia memakai kalung berbandul X yang sama dengan ini. Tidak hanya itu, symbol yang ada di kalung CEO Dion sama persis dengan sayatan X yang ada pada setiap leher korban. Bukankah itu masuk akal?” jelasnya lagi.
            (Senior terdiam mendengar penjelasan Dina, dan mereka juga sependapat)
***
Ketua Tim yang keluar terlebih dahulu, secara diam-diam ia menelpon seseorang. Seorang pria misterius dengan suara yang amat menyeramkan.
            “Ada apa?” kata pria misterius.
            “Gelang, gelang saya yang hilang ada pada wanita detektif itu.” kata Frans.
            “Bagaimana dengan kalung?” tanyanya.
            “Saya tidak tahu.” jawabnya.
***
Keesokkan harinya, pegawai yang dijadikan tersangka oleh Dion mendatangi ruang kantornya untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya.
            “Saya berterima kasih kepada anda telah banyak membantu saya.” katanya.
            (Dion mengangguk)
            “Tapi sebelumnya bolehkah saya menyampaikan pesan satu hal kepada anda?” permintaannya.
            “Apa itu?” jawab Dion.
            “Anda harus berhati-hati dengan direktur di perusahaan ini. Saya permisi.” kata pegawai dan lekas pergi dari ruangannya.
            (Dion terdiam) “Direktur? Perusahaan ini? Abang Zidan?” Dion bertanya-tanya heran.
***
Terlihat sebuah rumah yang sangat berantakan seperti tanpa berpenghuni itu, waktu pukul 8 pagi membangunkan Dina dari tidurnya.
            “Astaga… kesiangan…” kata Dina yang segera beranjak dari kasurnya dan segera lari menuju kamar mandi. Seperti biasa, Dina selalu tidur larut malam dan akibatnya susah bangun pagi. Dina segera berlari menuju halte dan menunggu bus yang mengarah ke kantornya. Sambil memakan roti di pinggir jalan akhirnya ia sudah naik di sebuah bus dan duduk di kursi paling belakang. Tiba-tiba seorang nenek disampingnya mengatakan;
            “Hei gadis muda. Kau akan mengalami hari dan waktu yang buruk. Bersiap-siap lah.”
            “Maaf nek?” kata Dina kaget.
            (Nenek itu pun turun)
            (Dina masih terbengong mendengar pernyataan nenek tadi) “Lupakan lah.”
            (Ketika Dina hendak turun tanpa sadar handphone miliknya terjatuh)
Sesampainya di kantor, lagi-lagi Dina kena omelan Gosa.
            “Apalagi yang kau lakukan dengan hantu itu? minum-minum? Hah?” kata Gosa bersuara keras.
            “Main gaplek ka.” Jawab Dina ledek dengan kepala menunduk.
            “Heits kau ini…” kata Gosa.
            (Rafi yang melihat tingkah mereka berdua hanya tertawa kecil)
Tiba-tiba Ketua Tim datang memberitahu bahwa ditemukan mayat wanita di gedung SIMA tepatnya di sebuah gudang. Mereka bergegas untuk menuju lokasi kejadian bersama tim forensik.
***
Dion sedang berjalan di belakang gedung bersama para staf nya, menjelaskan konsep penjualan bulan depan yang akan ia pakai untuk menarik perhatian pelanggan. Namun tiba saja Sekretaris Joe datang dalam keadaan panik, memberitahu bahwa ditemukan mayat di gudang. Dion yang mendengar hal itu segera menuju tempat kejadian untuk memeriksa. Kedatangan Dion bersamaan dengan para detektif. Mereka langsung mendekati korban dan segera memasang police line di area sekitar yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berlomba-lomba untuk melihatnya secara langsung. Ketika Dion melihat korban, dirinya terkejut. Ternyata mayat tersebut adalah pegawai yang baru saja mengundurkan diri pagi tadi. Sungguh tak disangka apa yang sampai membuatnya meninggal seperti ini. Detektif pun mencoba mencari saksi untuk dimintai keterangan.
            “Gimana?” kata Frans.
            “Para saksi mengatakan bahwa sebelumnya di ruang kerja ia terlihat baik-baik saja. Namun karyawan ini memang terkenal anti social. Ia tidak pernah bergaul dengan siapapun. Dia selalu menyediri. Jadi sangat sulit untuk mendapatkan informasi lebih detail.” jelas Rafi.
            (Lalu Gosa menemukan sebotol minuman di dekat korban) “Lihatlah.”
            “Ini apa?” tanya Dina. “Apa ini miliknya?” tambahnya lagi.
            “Bisa jadi. Mungkin ia keracunan.” kata Rafi.
            “Apakah masuk akal ia minum secara sembunyi-sembunyi di dalam gudang?” tanya Gosa.
            “Panggil tim forensic untuk segera meneliti minuman ini.” kata Frans.
“Ba-bagaimana bisa…” kata Dion.
Dina yang melihat Dion kesal;
            “Hei kau (nunjuk ke arah Dion) apa saja yang kau lakukan sampai tidak bisa memperhatikan karyawan mu?” kata Dina kesal. “Apakah seperti ini tingkah laku bos menyuruh anak buahnya dengan sesuka hatimu melakukan ini itu, hah? Apa kau tidak punya kaki sampai kau tidak bisa berjalan sendiri ke gudang untuk mengambil barang yang kau perlukan?” tambahnya.
            “Hah?” jawab Dion dengan mata melotot berusaha menjawab tetapi selalu terpotong oleh Dina.
            “Hah? Kau jawab hah? Ish bener-bener.… “ belum selesai bicara Dina terfokus pada leher Dion yang tidak memakai kalung X tersebut. Tiba-tiba ia berlari mendekati korban dan mencari sayatan X pada lehernya tetapi tidak ada. Lalu ia bertanya;
            “Tanggal berapa sekarang?”
            “17 April 2015.” jawab Gosa. “Kenapa?”
Kemudian Dina menghitung-hitung dari tanggal kematian korban 16 April lalu. Dan ternyata bukan empat hari setelahnya. Dina sempat heran apakah ini bukan pembunuhan rencana? Atau memang ia benar-benar keracunan? Ditambah tidak adanya sayatan X pada lehernya?
Dion yang sedari tadi melihat tingkah Dina, seperti mengetahui sesuatu tentang kasus pembunuhan ini, hanya terus memandanginya. Kemudian korban pun di bawa ke rumah sakit untuk di otopsi. Rafi memanggil Dina yang terduduk diam menatap korban menyuruhnya segera bangun dan pergi ke kantor. Dina pun bangkit berjalan melewati Dion, namun tanpa sadar gelang X yang berada dalam kantong jaket Dina terjatuh, jatuh tepat berada di kaki Dion. Dion pun segera mengambilnya dan hendak mengembalikannya. Namun niat itu diurungkan, dan bertanya-tanya mengapa benda ini ada pada dirinya.
#Flasback
Ketika Dion sedang membuka-buka buku X tersebut, ternyata terdapat sebuah gambar kalung dan gelang berlambangkan huruf X.
#FlasbackEnd
            “Siapa dia sebenarnya?” kata Dion dalam hati.
            “Bos kau tidak apa-apa?” tanya Sekretaris Joe.
            (Dion mengangguk)
***
Dina yang masih terpikirkan tidak adanya sayatan pada korban, semakin membuatnya curiga. Apa maksud dari si pembunuh tersebut? Rencana apa lagi yang akan dilakukannya untuk beberapa hari kedepan? Semakin memikirkannya semakin Dina diselimuti rasa takut. Ketua Tim pun memanggil Dina ingin berbicara.
            “Din, apakah kau sedang memikirkan sesuatu?” tanya Ketua Tim.
            “Apakah kau berpikiran sama denganku?” jawabnya.
            “Berpikiran apa?”
            “Di leher korban aku tidak melihat adanya tanda sayatan X seperti korban lainnya. Bukankah itu aneh?” jelas Dina.
            “Apakah kau yakin pelaku hari ini adalah pelaku yang sama?” tanya Frans lagi.
            “Hum, aku yakin sekali. Benar-benar mencurigakan. Ketua Tim, mungkinkah pembunuh itu ada di sekitar kita?” sambungnya.
            (Frans melotot terkejut) “Apa maksudmu?”
            “Ya, mungkin saja. Pembunuh itu sedang bermain dengan kita, tapi kita nya saja yang tidak sadar.” Dina menjelaskan.
            “CEO Dion maksudmu?” kata Frans.
            “Aku juga tidak tahu. Tapi jika CEO Dion yang melakukannya, ia tidak mungkin akan sepanik itu ketika melihat korbannya.” Dina menjelaskan. “Tapi ada yang mencurigakan darinya.” tambahnya.
            “Curiga apa?” tanya Ketua Tim.
            “Aku tidak melihat kalung itu di lehernya, apa dia melepasnya?” tanya Dina heran.
            “Kalung? Kalung seperti apa?” Frans penasaran.
            “Kalung… yang berbandul huruf X. Dan symbol tersebut sama dengan sayatan pada leher korban.” jelas Dina sambil menatap Frans.
            “Ohh, benarkah? Dina, kamu jangan asal menuduh. Kau ini seorang detektif. Jangan hanya kau seorang detektif kau bisa mengansumsikan sendiri siapa pembunuh itu.” jelas Ketua Tim berjalan pergi meninggalkan Dina.
            (Dina bengong) “Hah, benar aku ini detektif. Tapi bukankah bekerja sebagai detektif mempunyai hak untuk curiga? Dan aku berhak melakukan itu karena aku seorang detektif.” Dina berbicara sendiri menyusul rekan-rekannya ke mobil.
***
Di ruang kerja kantor, Dion terus meratapi gelang X tersebut. Apa yang dia tahu tentang tanda ini? Kemudian Dion menyuruh Sekretaris Joe menghubungi detektif wanita itu untuk datang ke perusahaan.
            “Maksud bos Dina? Ehei kau pandai sekali memilih.” jawab Sekretaris Joe.
            “Sshhpp.. 10 menit. Saya tidak suka menunggu.” kata Dion menduduki kursinya.
            “Hah? 10 menit? Baik bos baik.” jawabnya.
Kemudian Sekretaris Joe menghubungi Dina dan menyuruhnya untuk segera datang ke perusahaan. Tetapi Dina menolaknya.
            “Untuk apa aku datang kesana?” tanya Dina.
            “Aku juga tidak tahu. Cepat kau datang kesini. Kalau tidak riwayatku bisa tamat. Kutunggu 10 menit.” Joe menakut-nakuti Dina dan segera menutup telponnya.
            “Augh… menjengkelkan.” kata Dina mengomeli handphonenya.
            “Ada apa?” kata Gosa.
            “Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja CEO Dion menyuruhku untuk datang kesana. Kaka senior aku pergi dulu ya.” Dina berpamitan.
Akhirnya Dina memutuskan untuk pergi ke perusahaan. Dengan mulutnya yang menggerutu sepanjang jalan. Sesampainya disana, Dina langsung masuk ke ruangan Dion. Tidak memperdulikan satpam yang mengikuti di belakangnya bahwa ia tidak bisa masuk begitu saja ke ruangan CEO. Tiba di ruangan Dion, Dina membuka pintu sangat kencang membuat Dion dan Joe yang berada di dalam kaget.
            “Heiiii…” kata Dion teriak.
            “Pak satpam, aku punya urusan dengan bos mu. Dia yang memanggilku kemari, apa ku harus lapor?” kata Dina kepada Pak satpam yang segera pergi ketika Dion meninggalkan kode.
            “Bisa tidak gausah bertingkah seperti preman.” kata Dion kesal.
            “Detektif itu seperti preman, puas?” jawab Dina.
            “Terserah kau saja.” kata Dion.
            “Hal penting apa yang ingin kau sampaikan padaku?” tanya Dina.
            “Jangan terburu-buru. Sebelumnya ada hal yang ingin kutanyakan padamu. Sebenarnya apa salahku padamu? Huh?” tegas Dion.
            “Apa?” Dina menganga.
            “Mengapa kau bertingkah tidak sopan kepadaku? Kenapa kau selalu menatap kebencian ketika melihatku?” tanya Dion lagi.
            “Maaf sebelumnya. Apakah anda menyuruh saya datang kesini hanya untuk mendengar ocehan anda seperti ini?” balas Dina sopan namun meledek.
            “Huh?” Dion kaget.
            “Oke. Jika aku benci melihatmu, terus kenapa? Kenapa?” jawab Dina mendekatkan wajahnya ke Dion.
            (Lalu Dion menjauhkannya dengan jari telunjuknya) “Kenapa kau benci melihatku? Memangnya aku ini seorang pembunuh?” Dion menjawab dan membuat Dina melotot bahkan bengong.
            “Hei.. Hei.. wanita gila. Kau kenapa?” tanya Dion panik.
            “Tidak, tidak apa-apa.” jawabnya terbata-bata.
            “Trus kenapa? Ada yang salah?” tanya Dion lagi.
            “Ho’oh ada yang salah. Ada yang salah pada dirimu. Kenapa kau tega melakukan itu. Kenapa kau membunuh orang yang tidak bersalah? Apakah harta yang sudah kau dapatkan tidak cukup? Sampai kau berniat untuk mengambil jiwa raga orang lain juga?” jelas Dina.
            “Aku? Huh, apa maksudmu? Apa yang sedang kau bicarakan sekarang?” jawab Dion teriak.
            “Sudahlah. Tidak usah dibicarakan lagi.” kata Dina dengan wajah menunduk.
            “Tidak, ini harus dibicarakan. Lebih detail.” jawab Dion sambil memegang pundak Dina erat dengan kedua tangannya. “Apa saja yang kau tahu tentang tanda X itu? huh? Jawab?” Dion memaksa.
            (Dina kaget, berusaha untuk membuka suara tapi ketakutan dengan sikap Dion)
            “Kau mem-buat-ku ta-kut.” kata Dina suara pelan.
~To Be Continued~