*PART
FOUR*
Frans
tidak melihat siapapun. Hanya melihat ruangan kosong. Zidan yang mengikutinya
dari belakang juga ikutan melongok. Melihat sekeliling, Frans menemui ujung
sepatu yang mengumpat di balik tembok. Frans curiga dan mencoba untuk mendekat.
Sekitar tiga kaki melangkah, ponsel Zidan berbunyi dan menghentikan langkah
Frans untuk mendekatinya.
“Halo.” jawab Zidan.
“Iya. Saya mengerti.” Zidan menutup
telp itu.
“Saya harus pergi sekarang.” tambah
Zidan.
“Baik Pak. Saya akan mnegantar anda
keluar. Silahkan!” jawab Frans.
Akhirnya
mereka berdua pergi meninggalkan ruangan tersebut dan tidak mengetahui
keberadaan Dina. Dina menghela napas karena berhasil sembunyi. Dirinya panik
dan langsung keluar dari ruangan itu. Dina langsung pergi ketempat ia janjian
dengan Gosa dan Rafi.
Gosa
dan Rafi sudah memakan makanannya dengan lahap tanpa Dina.
“Ah sedapnya…” kata Gosa.
“Segerrr. Es ini rasanya aku
benar-benar ingin memakannya sedikit-dikit agar tidak cepat habis.” sambung
Rafi.
“Habis, ya beli lagi. Kau punya
banyak uang kan.” ejek Gosa.
“Kanker Gos. Gajian belum turun.”
“Kau pikir hujan, turun.” balas Gosa
sambil memukul kepala Rafi dengan sumpit.
Tiba-tiba
Dina datang. Dia berusaha biasa saja. Tidak memperlihatkan wajah takutnya.
Namun karena napas berat Dina, akhirnya Gosa dan Rafi menanyakkan pertanyaan
yang aneh-aneh.
“Hei Din, kamu kenapa?”
“Apa yang membuatmu sampai napasmu
berat seperti itu?”
“Kamu seperti melihat hantu? Ah kamu
bermain kejar-kejaran dengan hantu lagi kan? Iya kan?” ejek Gosa.
“Bukan… bukan begitu. (Dina duduk)
gimana cara aku bilangnya ya?” jawab Dina.
“Bilang apa?”
“Aku tau siapa pembunuh berantai itu
selama ini.” jawab Dina.
“Siapa?”
“Siapa itu?”
“Ahhh aku tidak bisa bilang.” kata
Dina sambil memperhatikan sekeliling takut ada spy.
“Kamu lihat apa? Hoh?”
“Kamu membuatku takut.” kata Gosa
yang ikut melihat sekeliling.
Kemudian
Dina mengambil ponselnya, menghubungi Dion.Namun tidak diangkat.
***
Di
ruang kerja perusahaan Dion, ia terlihat kesal. Tidak terima dengan perlakuan
kakaknya yang sengaja secara tidak langsung ingin menjatuhkan dirinya melalui
kata-katanya pada saat rapat tadi. Dion pun sampai tidak sadar bahwa ponselnya
berdering.
“Tuan, apakah anda tidak mengangkat
telponnya?” tanya Sekretaris Joe.
“Tuan…. Tuan… (pelan)
Tuan….(keras).” Sambung Sekretaris Joe lagi.
Teriakan
Joe tidak hanya menganggetkan Dion tetapi seluruh orang yang sedang bekerja,
yang jaraknya berada dekat dengan ruangan tersebut.
“Kau menganggetkanku.” jawab Dion
smabil menjawab telponnya.
“Halo.”
“Halo. Dion apakah kamu punya waktu?
Ada hal yang ingin aku bicarakan?” kata Dina.
“Hal apa?”
“Kita bertemu saja.”
“Lihatlah
kelakuan junior satu ini, tidak menghargai seniornya yang sedang ngomong, dia
malah ingin memberitahunya ke orang lain ketimbang kita.” gerutu Gosa.
“Kirimkan pesan tempatnya.” jawab
Dion menutup telponnya.
Dina
segera pergi tanpa pamit kepada Rafi dan Gosa. Sesampainya di sebuah café
tempat mereka janjian, Dina datang lebih dulu. Tak lama kemudian, Dion datang.
“Duduk. Duduk.” kata Dina.
“Ada apa? Penting banget kah?” jawab
Dion.
“Penting. Sangat penting. Hhmm.. Aku
tidak tau harus mulai dari mana. Agar kamu tidak sakit hati.” sambung Dina.
“Ada apa? Sampai aku akan merasakan
itu?” jawab Dion.
“Ini tentang… pembunuhan itu…
pelakunya. Aku menemukannya.”
“Kamu serius? Siapa? Cerita padaku!”
(Dina memberikan hasil rekaman yang
ada di ponselnya kepada Dion)
Disitu
Dion mendengar semua percakapan abangnya kepada Frans. Rasa tidak percaya bahwa
abangnya lah yang membunuh semua sanak keluarganya hanya untuk keserakahan
memimpin perusahaan SIMA Group. Dan data anggaran yang hilang itu ternyata dicuri
oleh abangnya sendiri agar Dion tidak bisa melanjutkan presentasinya di para
pemegang saham justru malah akan diturunkan jabatannya. Dion pun mengepalkan
genggamannya dengan wajah yang penuh emosi.
“Dari mana kau dapat rekaman ini?”
“Di kantor. Aku tidak sengaja
mendengar percakapan mereka di ruang ketua tim. Aku penasaran apa yang mereka
bicarakan seserius itu dan ternyata ini hasilnya.” jawab Dina.
“Bajingan. Aku akan membunuhmu.
Lihat saja nanti.” kata Dion yang masih mengepalkan tangannya. Secara sadar, Dina memegang tangan Dion untuk
menenangkannya. Hal itu membuat emosi Dion reda dan membalas sentuhan itu.
“Tenang saja. Mereka tidak akan bisa
membunuh kita berdua. Aku akan menjagamu. Aku janji,” kata Dion.
“Hm… aku juga akan menjagamu.”
Kemudian
Dion mengantarkan Dina pulang. Dina menyewa sebuah rumah berukuran kecil untuk
di tempati. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Dina hidup seorang diri. Di
daerah dia bekerja tidak ada keluarga satu pun.
“Saudara ku tinggal di pulau sumatera.
Karena jaraknya jauh mereka tidak pernah datang kesini.” jelas Dina kepada Dion
yang menanyainya.
“Oh seperti itu.”
“Kenapa? Kamu merasa kasihan sama
aku?” tanya Dina.
“Tidak. Tidak. Apa yang aku perlu
kasihani darimu.”
“Kamu beruntung. Bisa menikmati
semua kehidupanmu dengan uang yang kau punya. Hanya duduk manis kamu
mendapatkan uang yang banyak. Sedangkan aku, aku harus berlarian, mengejar
penjahat sana-sini, bahkan sampai melukai diriku sendiri, baru bisa mendapatakan
uang. Hidup itu ternyata penuh dengan perjuangan. Dan anggap aja perjuangan itu
sebagai pengalaman.” tambah Dina yang masih terpasang dengan safety belt nya
sambil tertawa kecil.
(Dion menatap tajam wajah Dina)
“Kenapa kamu melihat aku seperti
itu? Merasa tersentuh sehabis mendengar ceritaku? Sudahlah, tidak usah seperti
itu. Tidak akan merubah kehidu… (Dina menolehkan wajahnya ke arah Dion, dan
Dion langsung mencium bibir Dina dan membuat perkataannya terhenti serta kaget)
“Apa yang kamu lakukan?” kata Dina
berontak sambil melepaskan ciuman tersebut.
“Apa yang telah kulakukan?!” tanya
Dion salah tingkah.
Dina
hanya memegangi bibir yang sehabis disentuh oleh Dion. Dia tak percaya Dion
akan melakukan hal gila seperti tadi. Apa yang membuatnya melakukan itu? apa
yang ada dipikiran dia? Pikirnya. Dina dan Dion saling merasa malu, terutama
Dion akan perbuatannya. Dina buru-buru langsung keluar dari mobil dengan sikap
yang salah tingkah juga. Kemudian, Dion mengejar Dina. Menarik tangannya untuk
diajak berbicara. Namun Dina hanya tertunduk malu.
“Angkat kepalamu!” kata Dion.
“Aku malu.” jawabnya.
“Kenapa harus malu? Memang kita
melakukan hal yang salah?” tanya Dion.
“Iya!” jawab Dina keras mengangkat
kepalanya dekat tepat dengan wajah Dion.
“Lagi, kenapa kamu bisa sampai
ngelakuin hal ini? Ah ini buat aku gila.” tambah Dina.
“Kenapa? Atau jangan-jangan ini
pertama kali kamu ngelakuin ini? Iya?” ejek Dion.
“Hah?”
“Benar. Diliat dari ekspresi kamu
pasti ini pertama kali kamu melakukan ciuman. Jika memang pertama kali, berarti
aku cowok pertama yang cium kamu? Wah.. amazing….” ejek Dion lagi membuat Dina
semakin ingin menyembunyikan wajahmu.
“Kamu ngejar aku sampai sini Cuma untuk
meledekku seperti ini?” tanya Dina.
“Aku tidak meledek, aku hanya
bertanya. Kenapa kamu jadi marah? Tapi bener kan?”
“Diam!” jawab Dina.
“Kalau kamu belum pernah berciuman
berarti itu tandanya.. kamu… belum pernah pacaran.” sambung Dion lagi.
“Heiii. Harus aku jahit mulutmu agar
tidak banyak bicara.” Sahut Dina sambil memukul pundak Dion kesal.
“Bukannya aku tidak ingin pacaran,
sebenarnya banyak laki-laki yang mengejarku. Karena ku tipe orang pemilih jadi
aku tolak semua.” tutur Dina lagi.
“Ohya, tampang mu tidak terlihat
seperti itu. Kamu memiliki wajah yang polos. Tidak mungkin ada orang yang
tertarik pada wajah seorang gadis yang polos.” Ledek Dion lagi.
“Dionnn. Sekali lagi kamu ngomong
benar-benar aku jahit mulutmu ya.” Jawab Dina kesal.
“Oke. Aku tidak akan bicara lagi. Kalau
begitu sekarang kamu masuk ke dalam. Kalau ada apa-apa hubungi saja aku.” Sambung
Dion.
“Oke.”
Dina
masuk ke dalam rumah kecilnya dan meninggalkan Dion yang masih menunggu dirinya
untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Selamat malam.” Teriak Dion.
Dina
menoleh dan hanya tersenyum. Dina pun membuka pintu nya dan masuk, segera untuk
menyalakan lampu untuk menerangi ruangannya. Dina memasuki kamar mandi. Berniat
untuk membilaskan badannya, Dina melihat tulisan huruf X berlumuran darah di
kaca yang besar. Dan sesosok pria misterius dengan jubah hitam menutupi
kepalanya muncul, mendekati Dina sambil memegang sebuah pisau di tangannya. Dina
pun berteriak dan dirinya terjatuh ke lantai ketakutan dengan badan yang
gemetar. Sontak teriakan Dina itu terdengar oleh Dion yang masih berada di luar
yang hendak masuk ke dalam mobil. Dion pun berlari ke dalam rumah Dina, mencoba
membuka pintu namun pintu rumah dalam keadaan terkunci yang menyulitkan Dion
untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Dina, kamu gapapa? Dina buka
pintunya.” teriak Dion yang juga berusaha mendobrak pintu namun tak berhasil.
Sementara
Dina masih berteriak ketakutan karena pria misterius itu semakin mendekati
dirinya. Teriakan Dina itu justru membuat Dion semakin panik dan berusaha keras
untuk mendobrak pintunya.
~To
Be Continued~