*PART
TWO*
Dion
masih dengan keadaan menatapi buku dan melepaskan kalungnya untuk diletakkan di
lembar kertas tulisan itu. Tiba-tiba seorang pria mengetuk pintu ruangannya dan
mengharuskan Dion buru-buru untuk meletakkan buku tersebut ke tempat semula.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya
Zidan.
“Oh bang. Tidak aku sedang tidak
melakukan apa-apa.” jawab Dion.
“Sepertinya kau buru-buru
menyebunyikan sesuatu. Apa itu?” tanya Zidan lagi.
“Tidak bang tidak. (bangkit dari
bangkunya) ada keperluan apa bang?” kata Dion.
“Hanya berkunjung saja, memangnya
tidak boleh sebagai abang aku mendatangi ke ruangan adikku bekerja?” jawab
Zidan.
“Haha bukan seperti itu bang. Boleh
kok boleh sekali. Tapi aku bingung saja abang tiba-tiba datang kemari.” kata
Dion heran.
“Tentang file yang hilang di
perusahaan, apakah sudah ada kabar dari pihak kepolisian?” tanya Zidan.
“Belum bang. Kenapa? Apakah abang
sudah tahu?” tanyanya.
“Hoh? Tidak. Abang tidak tahu.
Bagaimana ada orang selicik itu mencuri data anggaran perusahaan.” jawab Zidan.
“Entahlah bang. Padahal minggu depan
data itu harus ku presentasikan ke para pemegang saham. Augh.. Aku tidak tahu
apa yang harus ku lakukan.” Dion mengeluh.
(Zidan yang melihat tersenyum kecil
dan kembali ke kamarnya)
Di
kamar Zidan, Zidan duduk di ruang kerjanya sambil memegang sebuah map berwarna
merah bertuliskan ‘KEUANGAN SIMA GROUP’
***
Kesokkan
harinya di ruang rapat kepolisian, Dina mengumpulkan team nya untuk
mendiskusikan kejadian kemarin. Dina mengeluarkan gelang X yang ia miliki di
hadapan rekan-rekannya. Mereka pun tak mengerti apa maksud Dina.
“Ini adalah gelang milik pelaku
pembunuhan berantai tersebut.” Dina menjelaskan.
(Ketua Tim kaget) “Dari mana kau?”
“Ini aku temukan pada korban yang
meninggal tanggal 12 April lalu.” jelasnya lagi. “Aku rasa pelaku tidak sengaja
menjatuhkan ini ketika ia sedang beraksi.”
(Gosa dan Rafi memegang gelangnya)
“Wah. Dia benar-benar meninggalkan
jejak yang menguntungkan bagi kita.” kata Rafi.
(Tiba-tiba Ketua Tim mendapat
panggilan telpon, namun ia tidak mendengarnya karena bengong menatap gelang
itu)
“Ketua Tim, apakah kau tidak akan
mengangkat telp nya?” kata Dina.
(Frans mengangkat telp) “Hallo.”
Ternyata
ia mendapatkan panggilan dari Dion. Dion menanyakan perkembangan kasus
pencurian yang terjadi di perusahaannya. Mendengar hal itu, Dina sedikit
sensitive. Memangnya kita hanya mengurusi kasus kecil seperti itu, Dina
mengoceh kesal.
“Dina, tapi ngomong-ngomong ketika
kau sedang berbicara berdua dengan Dion, kenapa tiba-tiba ekspresi wajahmu
berubah?” tanya Gosa penasaran.
(Semua orang menatap Dina yang juga
penasaran)
“Hei… kenapa kalian semua menatapku
seperti itu.” kata Dina.
(Semuanya tetap pada posisi yang
sama)
“Baiklah. Baiklah. Aku akan cerita.
Sebenarnya aku tau siapa pembunuh berantai itu.” jelas Dina.
“Siapa-siapa?” kata Rafi.
(Ketua
Tim menatap tajam Dina)
“Ini hanya kecurigaan ku saja, aku
masih belum yakin karena aku belum menemukan bukti yang kuat untuk menyatakan
bahwa dia pelakunya.” jelasnya lagi.
“Ya siapa?” kata Gosa emosi karena
Dina terlalu bertele-tele.
“CEO Dion.” kata Dian.
(Rafi dan Gosa tertawa) “Hei tidak mungkin.” kata
mereka berdua bersamaan.
“Kamu curiga dengan CEO Dion?” tanya
Ketua Tim.
“Iya.”
“Kenapa ketua? Apakah kau juga
percaya padanya?” kata Gosa menatap Frans.
“Aku tidak tahu.” kata Frans dan
langsung meninggalkan ruang rapat yang belum selesai itu.
“Junior, kau ini ngomong apa sih?
Buat apa orang kaya membunuh orang? Apakah dia monster? Kau ini.” kata Gosa.
“Awalnya aku juga berpikir seperti
itu. Tapi setelah aku melihatnya dan mendalami lebih rinci lagi, pasti ada
sesuatu yang tersembunyi tentang dia.” jawab Dina semakin penasaran tentang
identitas Dion.
“Melihatnya? Apa yang kau lihat?”
tanya Rafi.
“Simbol, sebuah symbol yang sama
dengan yang ada di gelang ini. Aku melihat dia memakai kalung berbandul X yang
sama dengan ini. Tidak hanya itu, symbol yang ada di kalung CEO Dion sama
persis dengan sayatan X yang ada pada setiap leher korban. Bukankah itu masuk
akal?” jelasnya lagi.
(Senior terdiam mendengar penjelasan
Dina, dan mereka juga sependapat)
***
Ketua
Tim yang keluar terlebih dahulu, secara diam-diam ia menelpon seseorang.
Seorang pria misterius dengan suara yang amat menyeramkan.
“Ada apa?” kata pria misterius.
“Gelang, gelang saya yang hilang ada
pada wanita detektif itu.” kata Frans.
“Bagaimana dengan kalung?” tanyanya.
“Saya tidak tahu.” jawabnya.
***
Keesokkan
harinya, pegawai yang dijadikan tersangka oleh Dion mendatangi ruang kantornya
untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya.
“Saya berterima kasih kepada anda
telah banyak membantu saya.” katanya.
(Dion mengangguk)
“Tapi sebelumnya bolehkah saya
menyampaikan pesan satu hal kepada anda?” permintaannya.
“Apa itu?” jawab Dion.
“Anda harus berhati-hati dengan
direktur di perusahaan ini. Saya permisi.” kata pegawai dan lekas pergi dari
ruangannya.
(Dion terdiam) “Direktur? Perusahaan
ini? Abang Zidan?” Dion bertanya-tanya heran.
***
Terlihat
sebuah rumah yang sangat berantakan seperti tanpa berpenghuni itu, waktu pukul
8 pagi membangunkan Dina dari tidurnya.
“Astaga… kesiangan…” kata Dina yang
segera beranjak dari kasurnya dan segera lari menuju kamar mandi. Seperti
biasa, Dina selalu tidur larut malam dan akibatnya susah bangun pagi. Dina
segera berlari menuju halte dan menunggu bus yang mengarah ke kantornya. Sambil
memakan roti di pinggir jalan akhirnya ia sudah naik di sebuah bus dan duduk di
kursi paling belakang. Tiba-tiba seorang nenek disampingnya mengatakan;
“Hei gadis muda. Kau akan mengalami
hari dan waktu yang buruk. Bersiap-siap lah.”
“Maaf nek?” kata Dina kaget.
(Nenek itu pun turun)
(Dina masih terbengong mendengar
pernyataan nenek tadi) “Lupakan lah.”
(Ketika Dina hendak turun tanpa
sadar handphone miliknya terjatuh)
Sesampainya
di kantor, lagi-lagi Dina kena omelan Gosa.
“Apalagi yang kau lakukan dengan
hantu itu? minum-minum? Hah?” kata Gosa bersuara keras.
“Main gaplek ka.” Jawab Dina ledek
dengan kepala menunduk.
“Heits kau ini…” kata Gosa.
(Rafi yang melihat tingkah mereka
berdua hanya tertawa kecil)
Tiba-tiba
Ketua Tim datang memberitahu bahwa ditemukan mayat wanita di gedung SIMA
tepatnya di sebuah gudang. Mereka bergegas untuk menuju lokasi kejadian bersama
tim forensik.
***
Dion
sedang berjalan di belakang gedung bersama para staf nya, menjelaskan konsep
penjualan bulan depan yang akan ia pakai untuk menarik perhatian pelanggan.
Namun tiba saja Sekretaris Joe datang dalam keadaan panik, memberitahu bahwa
ditemukan mayat di gudang. Dion yang mendengar hal itu segera menuju tempat
kejadian untuk memeriksa. Kedatangan Dion bersamaan dengan para detektif.
Mereka langsung mendekati korban dan segera memasang police line di area
sekitar yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berlomba-lomba untuk
melihatnya secara langsung. Ketika Dion melihat korban, dirinya terkejut.
Ternyata mayat tersebut adalah pegawai yang baru saja mengundurkan diri pagi
tadi. Sungguh tak disangka apa yang sampai membuatnya meninggal seperti ini.
Detektif pun mencoba mencari saksi untuk dimintai keterangan.
“Gimana?” kata Frans.
“Para saksi mengatakan bahwa
sebelumnya di ruang kerja ia terlihat baik-baik saja. Namun karyawan ini memang
terkenal anti social. Ia tidak pernah bergaul dengan siapapun. Dia selalu
menyediri. Jadi sangat sulit untuk mendapatkan informasi lebih detail.” jelas
Rafi.
(Lalu Gosa menemukan sebotol minuman
di dekat korban) “Lihatlah.”
“Ini apa?” tanya Dina. “Apa ini
miliknya?” tambahnya lagi.
“Bisa jadi. Mungkin ia keracunan.”
kata Rafi.
“Apakah masuk akal ia minum secara
sembunyi-sembunyi di dalam gudang?” tanya Gosa.
“Panggil tim forensic untuk segera
meneliti minuman ini.” kata Frans.
“Ba-bagaimana
bisa…” kata Dion.
Dina
yang melihat Dion kesal;
“Hei kau (nunjuk ke arah Dion) apa
saja yang kau lakukan sampai tidak bisa memperhatikan karyawan mu?” kata Dina
kesal. “Apakah seperti ini tingkah laku bos menyuruh anak buahnya dengan sesuka
hatimu melakukan ini itu, hah? Apa kau tidak punya kaki sampai kau tidak bisa
berjalan sendiri ke gudang untuk mengambil barang yang kau perlukan?”
tambahnya.
“Hah?” jawab Dion dengan mata
melotot berusaha menjawab tetapi selalu terpotong oleh Dina.
“Hah? Kau jawab hah? Ish
bener-bener.… “ belum selesai bicara Dina terfokus pada leher Dion yang tidak
memakai kalung X tersebut. Tiba-tiba ia berlari mendekati korban dan mencari
sayatan X pada lehernya tetapi tidak ada. Lalu ia bertanya;
“Tanggal berapa sekarang?”
“17 April 2015.” jawab Gosa. “Kenapa?”
Kemudian Dina
menghitung-hitung dari tanggal kematian korban 16 April lalu. Dan ternyata
bukan empat hari setelahnya. Dina sempat heran apakah ini bukan pembunuhan
rencana? Atau memang ia benar-benar keracunan? Ditambah tidak adanya sayatan X
pada lehernya?
Dion
yang sedari tadi melihat tingkah Dina, seperti mengetahui sesuatu tentang kasus
pembunuhan ini, hanya terus memandanginya. Kemudian korban pun di bawa ke rumah
sakit untuk di otopsi. Rafi memanggil Dina yang terduduk diam menatap korban
menyuruhnya segera bangun dan pergi ke kantor. Dina pun bangkit berjalan
melewati Dion, namun tanpa sadar gelang X yang berada dalam kantong jaket Dina
terjatuh, jatuh tepat berada di kaki Dion. Dion pun segera mengambilnya dan
hendak mengembalikannya. Namun niat itu diurungkan, dan bertanya-tanya mengapa
benda ini ada pada dirinya.
#Flasback
Ketika
Dion sedang membuka-buka buku X tersebut, ternyata terdapat sebuah gambar
kalung dan gelang berlambangkan huruf X.
#FlasbackEnd
“Siapa
dia sebenarnya?” kata Dion dalam hati.
“Bos kau tidak apa-apa?” tanya
Sekretaris Joe.
(Dion mengangguk)
***
Dina
yang masih terpikirkan tidak adanya sayatan pada korban, semakin membuatnya
curiga. Apa maksud dari si pembunuh tersebut? Rencana apa lagi yang akan
dilakukannya untuk beberapa hari kedepan? Semakin memikirkannya semakin Dina
diselimuti rasa takut. Ketua Tim pun memanggil Dina ingin berbicara.
“Din, apakah kau sedang memikirkan
sesuatu?” tanya Ketua Tim.
“Apakah kau berpikiran sama
denganku?” jawabnya.
“Berpikiran apa?”
“Di leher korban aku tidak melihat
adanya tanda sayatan X seperti korban lainnya. Bukankah itu aneh?” jelas Dina.
“Apakah kau yakin pelaku hari ini
adalah pelaku yang sama?” tanya Frans lagi.
“Hum, aku yakin sekali. Benar-benar
mencurigakan. Ketua Tim, mungkinkah pembunuh itu ada di sekitar kita?” sambungnya.
(Frans melotot terkejut) “Apa
maksudmu?”
“Ya, mungkin saja. Pembunuh itu
sedang bermain dengan kita, tapi kita nya saja yang tidak sadar.” Dina
menjelaskan.
“CEO Dion maksudmu?” kata Frans.
“Aku juga tidak tahu. Tapi jika CEO
Dion yang melakukannya, ia tidak mungkin akan sepanik itu ketika melihat
korbannya.” Dina menjelaskan. “Tapi ada yang mencurigakan darinya.” tambahnya.
“Curiga apa?” tanya Ketua Tim.
“Aku tidak melihat kalung itu di
lehernya, apa dia melepasnya?” tanya Dina heran.
“Kalung? Kalung seperti apa?” Frans
penasaran.
“Kalung… yang berbandul huruf X. Dan
symbol tersebut sama dengan sayatan pada leher korban.” jelas Dina sambil
menatap Frans.
“Ohh, benarkah? Dina, kamu jangan
asal menuduh. Kau ini seorang detektif. Jangan hanya kau seorang detektif kau
bisa mengansumsikan sendiri siapa pembunuh itu.” jelas Ketua Tim berjalan pergi
meninggalkan Dina.
(Dina bengong) “Hah, benar aku ini
detektif. Tapi bukankah bekerja sebagai detektif mempunyai hak untuk curiga?
Dan aku berhak melakukan itu karena aku seorang detektif.” Dina berbicara
sendiri menyusul rekan-rekannya ke mobil.
***
Di
ruang kerja kantor, Dion terus meratapi gelang X tersebut. Apa yang dia tahu
tentang tanda ini? Kemudian Dion menyuruh Sekretaris Joe menghubungi detektif
wanita itu untuk datang ke perusahaan.
“Maksud bos Dina? Ehei kau pandai
sekali memilih.” jawab Sekretaris Joe.
“Sshhpp.. 10 menit. Saya tidak suka
menunggu.” kata Dion menduduki kursinya.
“Hah? 10 menit? Baik bos baik.” jawabnya.
Kemudian
Sekretaris Joe menghubungi Dina dan menyuruhnya untuk segera datang ke
perusahaan. Tetapi Dina menolaknya.
“Untuk apa aku datang kesana?” tanya
Dina.
“Aku juga tidak tahu. Cepat kau
datang kesini. Kalau tidak riwayatku bisa tamat. Kutunggu 10 menit.” Joe menakut-nakuti
Dina dan segera menutup telponnya.
“Augh… menjengkelkan.” kata Dina
mengomeli handphonenya.
“Ada apa?” kata Gosa.
“Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja
CEO Dion menyuruhku untuk datang kesana. Kaka senior aku pergi dulu ya.” Dina
berpamitan.
Akhirnya
Dina memutuskan untuk pergi ke perusahaan. Dengan mulutnya yang menggerutu
sepanjang jalan. Sesampainya disana, Dina langsung masuk ke ruangan Dion. Tidak
memperdulikan satpam yang mengikuti di belakangnya bahwa ia tidak bisa masuk
begitu saja ke ruangan CEO. Tiba di ruangan Dion, Dina membuka pintu sangat
kencang membuat Dion dan Joe yang berada di dalam kaget.
“Heiiii…” kata Dion teriak.
“Pak satpam, aku punya urusan dengan
bos mu. Dia yang memanggilku kemari, apa ku harus lapor?” kata Dina kepada Pak
satpam yang segera pergi ketika Dion meninggalkan kode.
“Bisa tidak gausah bertingkah
seperti preman.” kata Dion kesal.
“Detektif itu seperti preman, puas?”
jawab Dina.
“Terserah kau saja.” kata Dion.
“Hal penting apa yang ingin kau
sampaikan padaku?” tanya Dina.
“Jangan terburu-buru. Sebelumnya ada
hal yang ingin kutanyakan padamu. Sebenarnya apa salahku padamu? Huh?” tegas
Dion.
“Apa?” Dina menganga.
“Mengapa kau bertingkah tidak sopan
kepadaku? Kenapa kau selalu menatap kebencian ketika melihatku?” tanya Dion
lagi.
“Maaf sebelumnya. Apakah anda
menyuruh saya datang kesini hanya untuk mendengar ocehan anda seperti ini?”
balas Dina sopan namun meledek.
“Huh?” Dion kaget.
“Oke. Jika aku benci melihatmu,
terus kenapa? Kenapa?” jawab Dina mendekatkan wajahnya ke Dion.
(Lalu Dion menjauhkannya dengan jari
telunjuknya) “Kenapa kau benci melihatku? Memangnya aku ini seorang pembunuh?”
Dion menjawab dan membuat Dina melotot bahkan bengong.
“Hei.. Hei.. wanita gila. Kau
kenapa?” tanya Dion panik.
“Tidak, tidak apa-apa.” jawabnya
terbata-bata.
“Trus kenapa? Ada yang salah?” tanya
Dion lagi.
“Ho’oh ada yang salah. Ada yang
salah pada dirimu. Kenapa kau tega melakukan itu. Kenapa kau membunuh orang
yang tidak bersalah? Apakah harta yang sudah kau dapatkan tidak cukup? Sampai
kau berniat untuk mengambil jiwa raga orang lain juga?” jelas Dina.
“Aku? Huh, apa maksudmu? Apa yang
sedang kau bicarakan sekarang?” jawab Dion teriak.
“Sudahlah. Tidak usah dibicarakan
lagi.” kata Dina dengan wajah menunduk.
“Tidak, ini harus dibicarakan. Lebih
detail.” jawab Dion sambil memegang pundak Dina erat dengan kedua tangannya.
“Apa saja yang kau tahu tentang tanda X itu? huh? Jawab?” Dion memaksa.
(Dina kaget, berusaha untuk membuka
suara tapi ketakutan dengan sikap Dion)
“Kau mem-buat-ku ta-kut.” kata Dina
suara pelan.
~To
Be Continued~
No comments:
Post a Comment