Saturday, 22 August 2015

(CERBUNG) 31 DAYS 7 Xtion Part Two

*PART TWO*
Dion masih dengan keadaan menatapi buku dan melepaskan kalungnya untuk diletakkan di lembar kertas tulisan itu. Tiba-tiba seorang pria mengetuk pintu ruangannya dan mengharuskan Dion buru-buru untuk meletakkan buku tersebut ke tempat semula.
            “Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Zidan.
            “Oh bang. Tidak aku sedang tidak melakukan apa-apa.” jawab Dion.
            “Sepertinya kau buru-buru menyebunyikan sesuatu. Apa itu?” tanya Zidan lagi.
            “Tidak bang tidak. (bangkit dari bangkunya) ada keperluan apa bang?” kata Dion.
            “Hanya berkunjung saja, memangnya tidak boleh sebagai abang aku mendatangi ke ruangan adikku bekerja?” jawab Zidan.
            “Haha bukan seperti itu bang. Boleh kok boleh sekali. Tapi aku bingung saja abang tiba-tiba datang kemari.” kata Dion heran.
            “Tentang file yang hilang di perusahaan, apakah sudah ada kabar dari pihak kepolisian?” tanya Zidan.
            “Belum bang. Kenapa? Apakah abang sudah tahu?” tanyanya.
       “Hoh? Tidak. Abang tidak tahu. Bagaimana ada orang selicik itu mencuri data anggaran perusahaan.”  jawab Zidan.
        “Entahlah bang. Padahal minggu depan data itu harus ku presentasikan ke para pemegang saham. Augh.. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan.” Dion mengeluh.
            (Zidan yang melihat tersenyum kecil dan kembali ke kamarnya)
Di kamar Zidan, Zidan duduk di ruang kerjanya sambil memegang sebuah map berwarna merah bertuliskan ‘KEUANGAN SIMA GROUP’
***
Kesokkan harinya di ruang rapat kepolisian, Dina mengumpulkan team nya untuk mendiskusikan kejadian kemarin. Dina mengeluarkan gelang X yang ia miliki di hadapan rekan-rekannya. Mereka pun tak mengerti apa maksud Dina.
            “Ini adalah gelang milik pelaku pembunuhan berantai tersebut.” Dina menjelaskan.
            (Ketua Tim kaget) “Dari mana kau?”
            “Ini aku temukan pada korban yang meninggal tanggal 12 April lalu.” jelasnya lagi. “Aku rasa pelaku tidak sengaja menjatuhkan ini ketika ia sedang beraksi.”
            (Gosa dan Rafi memegang gelangnya)
            “Wah. Dia benar-benar meninggalkan jejak yang menguntungkan bagi kita.” kata Rafi.
            (Tiba-tiba Ketua Tim mendapat panggilan telpon, namun ia tidak mendengarnya karena bengong menatap gelang itu)
            “Ketua Tim, apakah kau tidak akan mengangkat telp nya?” kata Dina.
            (Frans mengangkat telp) “Hallo.”
Ternyata ia mendapatkan panggilan dari Dion. Dion menanyakan perkembangan kasus pencurian yang terjadi di perusahaannya. Mendengar hal itu, Dina sedikit sensitive. Memangnya kita hanya mengurusi kasus kecil seperti itu, Dina mengoceh kesal.
            “Dina, tapi ngomong-ngomong ketika kau sedang berbicara berdua dengan Dion, kenapa tiba-tiba ekspresi wajahmu berubah?” tanya Gosa penasaran.
            (Semua orang menatap Dina yang juga penasaran)
            “Hei… kenapa kalian semua menatapku seperti itu.” kata Dina.
            (Semuanya tetap pada posisi yang sama)
            “Baiklah. Baiklah. Aku akan cerita. Sebenarnya aku tau siapa pembunuh berantai itu.” jelas Dina.
            “Siapa-siapa?” kata Rafi.
(Ketua Tim menatap tajam Dina)
            “Ini hanya kecurigaan ku saja, aku masih belum yakin karena aku belum menemukan bukti yang kuat untuk menyatakan bahwa dia pelakunya.” jelasnya lagi.
            “Ya siapa?” kata Gosa emosi karena Dina terlalu bertele-tele.
            “CEO Dion.” kata Dian.
            (Rafi dan  Gosa tertawa) “Hei tidak mungkin.” kata mereka berdua bersamaan.
            “Kamu curiga dengan CEO Dion?” tanya Ketua Tim.
            “Iya.”
            “Kenapa ketua? Apakah kau juga percaya padanya?” kata Gosa menatap Frans.
            “Aku tidak tahu.” kata Frans dan langsung meninggalkan ruang rapat yang belum selesai itu.
         “Junior, kau ini ngomong apa sih? Buat apa orang kaya membunuh orang? Apakah dia monster? Kau ini.” kata Gosa.
           “Awalnya aku juga berpikir seperti itu. Tapi setelah aku melihatnya dan mendalami lebih rinci lagi, pasti ada sesuatu yang tersembunyi tentang dia.” jawab Dina semakin penasaran tentang identitas Dion.
            “Melihatnya? Apa yang kau lihat?” tanya Rafi.
            “Simbol, sebuah symbol yang sama dengan yang ada di gelang ini. Aku melihat dia memakai kalung berbandul X yang sama dengan ini. Tidak hanya itu, symbol yang ada di kalung CEO Dion sama persis dengan sayatan X yang ada pada setiap leher korban. Bukankah itu masuk akal?” jelasnya lagi.
            (Senior terdiam mendengar penjelasan Dina, dan mereka juga sependapat)
***
Ketua Tim yang keluar terlebih dahulu, secara diam-diam ia menelpon seseorang. Seorang pria misterius dengan suara yang amat menyeramkan.
            “Ada apa?” kata pria misterius.
            “Gelang, gelang saya yang hilang ada pada wanita detektif itu.” kata Frans.
            “Bagaimana dengan kalung?” tanyanya.
            “Saya tidak tahu.” jawabnya.
***
Keesokkan harinya, pegawai yang dijadikan tersangka oleh Dion mendatangi ruang kantornya untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya.
            “Saya berterima kasih kepada anda telah banyak membantu saya.” katanya.
            (Dion mengangguk)
            “Tapi sebelumnya bolehkah saya menyampaikan pesan satu hal kepada anda?” permintaannya.
            “Apa itu?” jawab Dion.
            “Anda harus berhati-hati dengan direktur di perusahaan ini. Saya permisi.” kata pegawai dan lekas pergi dari ruangannya.
            (Dion terdiam) “Direktur? Perusahaan ini? Abang Zidan?” Dion bertanya-tanya heran.
***
Terlihat sebuah rumah yang sangat berantakan seperti tanpa berpenghuni itu, waktu pukul 8 pagi membangunkan Dina dari tidurnya.
            “Astaga… kesiangan…” kata Dina yang segera beranjak dari kasurnya dan segera lari menuju kamar mandi. Seperti biasa, Dina selalu tidur larut malam dan akibatnya susah bangun pagi. Dina segera berlari menuju halte dan menunggu bus yang mengarah ke kantornya. Sambil memakan roti di pinggir jalan akhirnya ia sudah naik di sebuah bus dan duduk di kursi paling belakang. Tiba-tiba seorang nenek disampingnya mengatakan;
            “Hei gadis muda. Kau akan mengalami hari dan waktu yang buruk. Bersiap-siap lah.”
            “Maaf nek?” kata Dina kaget.
            (Nenek itu pun turun)
            (Dina masih terbengong mendengar pernyataan nenek tadi) “Lupakan lah.”
            (Ketika Dina hendak turun tanpa sadar handphone miliknya terjatuh)
Sesampainya di kantor, lagi-lagi Dina kena omelan Gosa.
            “Apalagi yang kau lakukan dengan hantu itu? minum-minum? Hah?” kata Gosa bersuara keras.
            “Main gaplek ka.” Jawab Dina ledek dengan kepala menunduk.
            “Heits kau ini…” kata Gosa.
            (Rafi yang melihat tingkah mereka berdua hanya tertawa kecil)
Tiba-tiba Ketua Tim datang memberitahu bahwa ditemukan mayat wanita di gedung SIMA tepatnya di sebuah gudang. Mereka bergegas untuk menuju lokasi kejadian bersama tim forensik.
***
Dion sedang berjalan di belakang gedung bersama para staf nya, menjelaskan konsep penjualan bulan depan yang akan ia pakai untuk menarik perhatian pelanggan. Namun tiba saja Sekretaris Joe datang dalam keadaan panik, memberitahu bahwa ditemukan mayat di gudang. Dion yang mendengar hal itu segera menuju tempat kejadian untuk memeriksa. Kedatangan Dion bersamaan dengan para detektif. Mereka langsung mendekati korban dan segera memasang police line di area sekitar yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang berlomba-lomba untuk melihatnya secara langsung. Ketika Dion melihat korban, dirinya terkejut. Ternyata mayat tersebut adalah pegawai yang baru saja mengundurkan diri pagi tadi. Sungguh tak disangka apa yang sampai membuatnya meninggal seperti ini. Detektif pun mencoba mencari saksi untuk dimintai keterangan.
            “Gimana?” kata Frans.
            “Para saksi mengatakan bahwa sebelumnya di ruang kerja ia terlihat baik-baik saja. Namun karyawan ini memang terkenal anti social. Ia tidak pernah bergaul dengan siapapun. Dia selalu menyediri. Jadi sangat sulit untuk mendapatkan informasi lebih detail.” jelas Rafi.
            (Lalu Gosa menemukan sebotol minuman di dekat korban) “Lihatlah.”
            “Ini apa?” tanya Dina. “Apa ini miliknya?” tambahnya lagi.
            “Bisa jadi. Mungkin ia keracunan.” kata Rafi.
            “Apakah masuk akal ia minum secara sembunyi-sembunyi di dalam gudang?” tanya Gosa.
            “Panggil tim forensic untuk segera meneliti minuman ini.” kata Frans.
“Ba-bagaimana bisa…” kata Dion.
Dina yang melihat Dion kesal;
            “Hei kau (nunjuk ke arah Dion) apa saja yang kau lakukan sampai tidak bisa memperhatikan karyawan mu?” kata Dina kesal. “Apakah seperti ini tingkah laku bos menyuruh anak buahnya dengan sesuka hatimu melakukan ini itu, hah? Apa kau tidak punya kaki sampai kau tidak bisa berjalan sendiri ke gudang untuk mengambil barang yang kau perlukan?” tambahnya.
            “Hah?” jawab Dion dengan mata melotot berusaha menjawab tetapi selalu terpotong oleh Dina.
            “Hah? Kau jawab hah? Ish bener-bener.… “ belum selesai bicara Dina terfokus pada leher Dion yang tidak memakai kalung X tersebut. Tiba-tiba ia berlari mendekati korban dan mencari sayatan X pada lehernya tetapi tidak ada. Lalu ia bertanya;
            “Tanggal berapa sekarang?”
            “17 April 2015.” jawab Gosa. “Kenapa?”
Kemudian Dina menghitung-hitung dari tanggal kematian korban 16 April lalu. Dan ternyata bukan empat hari setelahnya. Dina sempat heran apakah ini bukan pembunuhan rencana? Atau memang ia benar-benar keracunan? Ditambah tidak adanya sayatan X pada lehernya?
Dion yang sedari tadi melihat tingkah Dina, seperti mengetahui sesuatu tentang kasus pembunuhan ini, hanya terus memandanginya. Kemudian korban pun di bawa ke rumah sakit untuk di otopsi. Rafi memanggil Dina yang terduduk diam menatap korban menyuruhnya segera bangun dan pergi ke kantor. Dina pun bangkit berjalan melewati Dion, namun tanpa sadar gelang X yang berada dalam kantong jaket Dina terjatuh, jatuh tepat berada di kaki Dion. Dion pun segera mengambilnya dan hendak mengembalikannya. Namun niat itu diurungkan, dan bertanya-tanya mengapa benda ini ada pada dirinya.
#Flasback
Ketika Dion sedang membuka-buka buku X tersebut, ternyata terdapat sebuah gambar kalung dan gelang berlambangkan huruf X.
#FlasbackEnd
            “Siapa dia sebenarnya?” kata Dion dalam hati.
            “Bos kau tidak apa-apa?” tanya Sekretaris Joe.
            (Dion mengangguk)
***
Dina yang masih terpikirkan tidak adanya sayatan pada korban, semakin membuatnya curiga. Apa maksud dari si pembunuh tersebut? Rencana apa lagi yang akan dilakukannya untuk beberapa hari kedepan? Semakin memikirkannya semakin Dina diselimuti rasa takut. Ketua Tim pun memanggil Dina ingin berbicara.
            “Din, apakah kau sedang memikirkan sesuatu?” tanya Ketua Tim.
            “Apakah kau berpikiran sama denganku?” jawabnya.
            “Berpikiran apa?”
            “Di leher korban aku tidak melihat adanya tanda sayatan X seperti korban lainnya. Bukankah itu aneh?” jelas Dina.
            “Apakah kau yakin pelaku hari ini adalah pelaku yang sama?” tanya Frans lagi.
            “Hum, aku yakin sekali. Benar-benar mencurigakan. Ketua Tim, mungkinkah pembunuh itu ada di sekitar kita?” sambungnya.
            (Frans melotot terkejut) “Apa maksudmu?”
            “Ya, mungkin saja. Pembunuh itu sedang bermain dengan kita, tapi kita nya saja yang tidak sadar.” Dina menjelaskan.
            “CEO Dion maksudmu?” kata Frans.
            “Aku juga tidak tahu. Tapi jika CEO Dion yang melakukannya, ia tidak mungkin akan sepanik itu ketika melihat korbannya.” Dina menjelaskan. “Tapi ada yang mencurigakan darinya.” tambahnya.
            “Curiga apa?” tanya Ketua Tim.
            “Aku tidak melihat kalung itu di lehernya, apa dia melepasnya?” tanya Dina heran.
            “Kalung? Kalung seperti apa?” Frans penasaran.
            “Kalung… yang berbandul huruf X. Dan symbol tersebut sama dengan sayatan pada leher korban.” jelas Dina sambil menatap Frans.
            “Ohh, benarkah? Dina, kamu jangan asal menuduh. Kau ini seorang detektif. Jangan hanya kau seorang detektif kau bisa mengansumsikan sendiri siapa pembunuh itu.” jelas Ketua Tim berjalan pergi meninggalkan Dina.
            (Dina bengong) “Hah, benar aku ini detektif. Tapi bukankah bekerja sebagai detektif mempunyai hak untuk curiga? Dan aku berhak melakukan itu karena aku seorang detektif.” Dina berbicara sendiri menyusul rekan-rekannya ke mobil.
***
Di ruang kerja kantor, Dion terus meratapi gelang X tersebut. Apa yang dia tahu tentang tanda ini? Kemudian Dion menyuruh Sekretaris Joe menghubungi detektif wanita itu untuk datang ke perusahaan.
            “Maksud bos Dina? Ehei kau pandai sekali memilih.” jawab Sekretaris Joe.
            “Sshhpp.. 10 menit. Saya tidak suka menunggu.” kata Dion menduduki kursinya.
            “Hah? 10 menit? Baik bos baik.” jawabnya.
Kemudian Sekretaris Joe menghubungi Dina dan menyuruhnya untuk segera datang ke perusahaan. Tetapi Dina menolaknya.
            “Untuk apa aku datang kesana?” tanya Dina.
            “Aku juga tidak tahu. Cepat kau datang kesini. Kalau tidak riwayatku bisa tamat. Kutunggu 10 menit.” Joe menakut-nakuti Dina dan segera menutup telponnya.
            “Augh… menjengkelkan.” kata Dina mengomeli handphonenya.
            “Ada apa?” kata Gosa.
            “Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja CEO Dion menyuruhku untuk datang kesana. Kaka senior aku pergi dulu ya.” Dina berpamitan.
Akhirnya Dina memutuskan untuk pergi ke perusahaan. Dengan mulutnya yang menggerutu sepanjang jalan. Sesampainya disana, Dina langsung masuk ke ruangan Dion. Tidak memperdulikan satpam yang mengikuti di belakangnya bahwa ia tidak bisa masuk begitu saja ke ruangan CEO. Tiba di ruangan Dion, Dina membuka pintu sangat kencang membuat Dion dan Joe yang berada di dalam kaget.
            “Heiiii…” kata Dion teriak.
            “Pak satpam, aku punya urusan dengan bos mu. Dia yang memanggilku kemari, apa ku harus lapor?” kata Dina kepada Pak satpam yang segera pergi ketika Dion meninggalkan kode.
            “Bisa tidak gausah bertingkah seperti preman.” kata Dion kesal.
            “Detektif itu seperti preman, puas?” jawab Dina.
            “Terserah kau saja.” kata Dion.
            “Hal penting apa yang ingin kau sampaikan padaku?” tanya Dina.
            “Jangan terburu-buru. Sebelumnya ada hal yang ingin kutanyakan padamu. Sebenarnya apa salahku padamu? Huh?” tegas Dion.
            “Apa?” Dina menganga.
            “Mengapa kau bertingkah tidak sopan kepadaku? Kenapa kau selalu menatap kebencian ketika melihatku?” tanya Dion lagi.
            “Maaf sebelumnya. Apakah anda menyuruh saya datang kesini hanya untuk mendengar ocehan anda seperti ini?” balas Dina sopan namun meledek.
            “Huh?” Dion kaget.
            “Oke. Jika aku benci melihatmu, terus kenapa? Kenapa?” jawab Dina mendekatkan wajahnya ke Dion.
            (Lalu Dion menjauhkannya dengan jari telunjuknya) “Kenapa kau benci melihatku? Memangnya aku ini seorang pembunuh?” Dion menjawab dan membuat Dina melotot bahkan bengong.
            “Hei.. Hei.. wanita gila. Kau kenapa?” tanya Dion panik.
            “Tidak, tidak apa-apa.” jawabnya terbata-bata.
            “Trus kenapa? Ada yang salah?” tanya Dion lagi.
            “Ho’oh ada yang salah. Ada yang salah pada dirimu. Kenapa kau tega melakukan itu. Kenapa kau membunuh orang yang tidak bersalah? Apakah harta yang sudah kau dapatkan tidak cukup? Sampai kau berniat untuk mengambil jiwa raga orang lain juga?” jelas Dina.
            “Aku? Huh, apa maksudmu? Apa yang sedang kau bicarakan sekarang?” jawab Dion teriak.
            “Sudahlah. Tidak usah dibicarakan lagi.” kata Dina dengan wajah menunduk.
            “Tidak, ini harus dibicarakan. Lebih detail.” jawab Dion sambil memegang pundak Dina erat dengan kedua tangannya. “Apa saja yang kau tahu tentang tanda X itu? huh? Jawab?” Dion memaksa.
            (Dina kaget, berusaha untuk membuka suara tapi ketakutan dengan sikap Dion)
            “Kau mem-buat-ku ta-kut.” kata Dina suara pelan.
~To Be Continued~



No comments:

Post a Comment