*PART
THREE*
Masih
memegang erat pundak Dina. Dina merasa sangat ketakutan jika hal mengerikan
akan terjadi pada dirinya. Sekilas ia mengingat perkataan nenek tua tadi pagi
bahwa dia akan mengalami masa-masa buruk. Apalagi ini salah satunya? Dina
segera mengambil ponsel nya untuk menghubungi rekan kerjanya, namun tidak ada.
Ia baru sadar bahwa ponselnya hilang.
“Kenapa kamu tidak jawab?” kata
Dion.
“Jawab apa?” jawab Dina
terbata-bata.
“Kenapa kau bisa memiliki gelang ini
(sambil menunjukkan gelangnya).”
“Hah? Itu… itu….”
“Itu apa?”
(Wajah Dina tegang) “Aku menemukan
gelang itu… saat…. pada korban. Ah bukan bukan, gelang itu aku temukan di
samping tubuh korban yang meninggal pada 12 april lalu. Puas?” jawaban Dina
melepaskan tangan Dion dari pundaknya dan Dina merasa kesakitan.
(Dion terdiam sejenak)
“Ada apa? Hoh? Ada yang salah?
Kenapa wajahmu seperti itu? Setidaknya ngomong sesuatu kek.” kata Dina.
Kemudian
Dion mengajak Dina untuk duduk di kursi tamu. Mereka berdua memulai pembicaraan
serius.
“Apa yang kamu pikirkan tentang
gelang itu?” tanya Dion.
“Pembunuh.”
“Kamu yakin itu miliknya?”
(Dina mengangguk)
“Kamu pikir itu milikku? Dan aku
pembunuhnya?” tanya Dion lagi.
“I—ya.” jawab Dina sambil menggeser
menjauh dari Dion.
(Dion tertawa kecil) “Gila.”
Kemudian
Dion bangkit dari duduknya dan mengambil buku X dari laci mejanya. Dion pun
membuka buku tersebut dan terdapat kalung X di dalamnya. Itu membuat Dina
kaget. Dion membuka lembar demi lembar buku tersebut sambil memperlihatkannya
ke Dina. Betapa terkejutnya bahwa buku tersebut berisikan data korban yang
dibunuh sama dengan data pembunuhan yang dimiliki oleh pihak kepolisian.
“Astaga. Ini semua…. Waw…” kata Dina
sambil menatap Dion.
“Aku memiliki ini sejak sebulan yang
lalu. Awalnya aku kira ini hanya sebuah catatan kosong. Tapi ternyata di
dalamnya berisikan nama-nama orang dari keluargaku. Dan nama-nama tersebut
telah meninggal dunia. Salah satunya ayahku.” Dion menjelaskan.
Dina
yang mendengar hal itu sedikit tersentuh, bahwa ayahnya menjadi salah satu
korban pembunuhan berantai. Itu tandanya bukan Dion lah pelakunya. Tidak
mungkin anak membunuh ayah kandungnya sendiri. Pikir Dina.
“Ayah mu?”
“Ya. Ayahku meninggal pada 12 April
2015. Dan kematiannya sangatlah tidak masuk akal. Awalnya kesehatan ayahku
baik-baik saja. Dia rajin berolahraga bahkan memakan makanan yang sehat. Tetapi
tiba-tiba aku mendapat kabar bahwa ayahku sudah berada di ruang UGD dan
meninggal di lokasi kejadian. Aku juga tidak mengerti lokasi kejadian itu
dimana. Kamu, kamu bilang nemuin gelang itu pada korban 12 april? Itu ayahku.
Dimana tempat itu?” tanya Dion.
“Korban itu ayah kamu? Kejadian itu
juga masih dalam penyelidikan sebenarnya. Tapi sudah ditutup tanpa alasan yang
jelas. Ketua tim bilang keluarga korban sudah menutup kasus itu, dan aku juga
baru tahu kalau kamu salah satu keluarganya.” jelas Dina.
“Keluarganya yang meminta? Hanya ada
aku dan abangku? Mungkinkah abangku yang meminta menutupnya?” tanya Dion sambil
berpikir.
“Aku juga tidak tahu. Tapi saat aku
menemukan mayat korban, tempatnya itu di pinggir sungai. Untuk memprediksi adanya
kecelakaan tetapi tidak ada tanda-tanda pecahan kaca mobil atau sebagainya.
Menurut perkiraanku, ayahmu di bunuh dan di buang ke tempat itu. Ada
kemungkinan.” jelas Dina.
“Dibunuh? Sama siapa?” kemudian Dion
mengingat-ngingat kejadian dirumah sakit.
#Flashback
Suara
denyut jantung seseorang yang sedang terbaring di ruang UGD telah berhenti.
Dion pun menangisi kepergian sang ayah yang begitu cepat. Didampingi oleh
sekretaris Joe dan beberapa orang dari pihak kepolisian untuk dimintai
keterangan lebih lanjut. Tak lama kemudian, Zidan datang berlarian. Zidan pun
ikut hanyut dalam keharuan Dion.
“Kenapa ayah saya bisa seperti ini?”
tanya Zidan kepada polisi.
“Kami juga sedang menyelidiki. Namun
ada kemungkinan kasus ini adalah pembunuhan yang di sengaja Tuan.”
“Pembunuhan sengaja? Siapa yang tega
melakukan itu?” tanya Dion.
“Bang, apakah ayah punya musuh?
Setau ku tidak.” sambung Dion lagi.
Zidan
pun memeluk Dion yang masih dalam tangis histerisnya. Namun ketika pelukan itu
berlangsung, Dion berhenti menangis, melihat telapak tangannya berlumuran darah
yang berasal dari jas milik Zidan.
“Ini apa bang?” tanya Zidan
melepaskan pelukannya.
(Zidan terkejut) “Oh ini… tadi pas
abang sedang menuju kesini ada kecelakaan mobil, jelas abang bantu mereka dan
salah satu dari mereka ada anak kecil yang berlumuran darah jadi mungkin ini
kena darah anak itu.” jelas Zidan.
“Oh seperti itu.”
“Yasudah abang ke kamar mandi dulu
bersihin darah ini.”
Tak
lama kemudian, dokter keluar dari ruangan dan menyatakan bahwa ayahnda telah
meninggal dunia. Dion pun masuk ke ruangan tersebut melihat sang ayah untuk
yang terakhir kalinya. Zidan pun muncul di ruangan itu. Berdiri tepat di
samping Dion. Akhirnya mereka semua pun pergi untuk mengurusi pemakaman
ayahnda. Namun sebuah kalung jatuh dari saku jas Zidan. Kalung tersebut
dipungut oleh Dion dan dikantongi. Sesampainya dirumah, mereka berdua pergi ke
kamarnya masing-masing. Namun Dion hendak masuk ke kamarnya, ia malah pergi ke
kamar abangnya berniat untuk mengembalikkan kalung itu. Ketika masuk ke kamar
Zidan, ternyata Zidan sedang mandi. Ia meletakkan kalung tersebut di atas meja
kerjanya. Tapi ketika Dion hendak pergi, mata dia tertuju pada sebuah buku yang
menarik perhatiannya. Buku tersebut terletak di bawah tempat tidur. Dion heran
mengapa buku sebagus ini bisa ada dibawah tempat tidur? Apakah mungkin abang
lupa menaruhnya? Pikirnya.
Ketika
Dion berniat untuk mengambil dan mengembalikkan buku tersebut ke dalam rak
buku, ia membuka sedikit halamannya. Dan hal itu membuat dirinya kaget karena
melihat adanya data diri ayahnya meninggal. Tak hanya itu, ada beberapa juga
nama orang yang telah meninggal. Dan nama tersebut adalah orang-orang dari
keluarganya sendiri. Dion bertanya-tanya apa maksud dari buku ini? Ketika
sedang fokus mengamati daftar tersebut, bunyi suara air shower berhenti. Zidan
sedang mengeringkan tubuhnya. Dion panik. Kemudian ketika lembar berikutnya dia
buka, ada sebuah gambar kalung dan gelang berlambangkan huruf X dan huruf X
tersebut seperti sebuah pedang. Dion pun mengambil kembali kalung yang telah
dikembalikannya itu. Tiba-tiba Zidan keluar dari bathroom sambil mengeringkan
rambutnya dengan handuk. Ketika keluar, Zidan melotot melihat suasana kamarnya
tidak seperti biasanya. Ia melihat sekeliling namun tidak ada orang. Ia
mengambil pakaian di lemarinya. Berpakaian rapi mengenakan setelan jas berwarna
coklat muda. Ketika sibuk berdandan, ponsel miliknya bordering.
“Hallo.” jawab Zidan.
“Tuan, semua sudah beres. Kasus ini
telah ditutup.”
“Baiklah. Terima kasih atas kerja
kerasmu, Frans. Pastikan kasus kematian ayahku tidak diungkit lagi.” jawab
Zidan.
Mendengar
hal itu, Dion yang mengumpat di bawah kolong meja kerja Zidan terkejut. Mengapa
kasus kematian ayahnya ditutup tanpa izin dirinya. Hal ini juga berlaku pada
kematian om nya dulu. Bahkan sejak ibu nya meninggal dunia karena sakit, Zidan
tidak menuntut pihak rumah sakit karena kesalahan prosedur obat yang diberikan
kepada ibunya dan menyebabkan ibunya meninggal.
#FlashbackEnd
“Apa yang kamu pikirkan tentang
ceritaku?” tanya Dion kepada Dina.
(Dina menarik napas) “Entahlah. Aku
pikir kita mempunyai pikiran yang sama. Tapi aku tidak terlalu yakin karena
belum ada bukti.”
“Jika memang benar abangku. Aku
merasa menyesal. Apa yang membuat pikirannya sekeji itu untuk melakukannya.”
“Apakah abangmu tidak mencari-cari
buku dan kalung ini?”
“Tidak. Dia tidak sadar jika ini
semua ada di tanganku. Detektif Dina, mau kah kau menolongku? Mencari tahu
tentang abangku?”
(Dina kaget) “Kamu serius ingin
menyelidiki abang mu sendiri? Jika ini terus berlanjut akan terjadi perperangan
antara kamu dengan kakakmu.”
“Keputusan yang ku ambil ini sangat
tepat. Aku rasa dia tidak bekerja sendiri melainkan bersama orang lain. Fra…
Frins.. augh aku lupa siapa namanya. F.. Frans.. iya Frans. Kalau tidak salah
abangku menyebut nama itu ketika di telfon.”
“Frans? Frans? Mirip dengan nama
ketua tim di tempat kerjaku. Tapi tidak mungkin dia? Seorang ketua tim detektif
membantu seseorang untuk melakukan pembunuhan itu? Tapi Zidan, jika memang
benar abang mu yang melakukan semua pembunuhan sayatan itu, buat apa abangmu
membunuh sanak keluargamu seperti itu?” tanya Dina.
“Aku juga tidak tahu. Tapi pasti ada
sesuatu.”
***
Diruang
kerja Zidan, dia sedang duduk berpikir sambil menggoyangkan jemari tangannya
secara bergantian sehingga menghasilkan sebuah nada. Kemudian ia berkata, “Aku
hanya membuatmu tidur supaya tidak berisik!”
#Flashback
Ketika
karyawan yang mengundurkan diri keluar dari ruangan Dion, ia berjalan hendak
meninggalkan perusahaan. Tanpa sadar ternyata ada seseorang yang mengikutinya
dari belakang. Lama kelamaan, karyawan itu pun sadar. Dengan mengambil langkah
cepat dan menaiki sebuah tangga tanpa ada seorang pun yang melintas. Pria
bertopeng itu pun langsung mendekap karyawan wanita itu dengan sapu tangan dan
menyeretnya ke sebuah gudang.
“Kau sudah bekerja keras sayang.”
kata pria misterius itu.
(Wanita itu ketakutan)
“Aku sudah melakukan semua yang pak
Zidan suruh, anda mau apalagi?”
“Saya? Hhmm? Apa ya? Saya hanya minta
kamu menutup mulut, tetapi kamu malah bilang bahwa harus berhati-hati dengan
direktur? Itu saya? Saya sakit hati. Kamu tidak menepati janji kamu, itu
tandanya saya harus mengingkari janji saya untuk menyelamatkan kamu.”
“Maksud Tuan apa?”
“Jangan takut. Aku tidak akan
membunuhmu. Aku hanya akan membuatmu tidur tenang selama-lamanya agar kamu
tidak merasa takut. Tidak sakit kok.”
(Kemudian
Zidan langsung menyuntikkan suntikan yang berisi cairan mematikan ke leher
korban dan menaruh botol minuman di samping wanita itu, yang seolah-olah dia
mati karena keracunan)
#FlashbackEnd
Kemudian
seorang karyawan masuk memberitahu bahwa rapat dengan para pemegang saham akan
segera dilaksanakan. Zidan bergegas kesana. Sesampainya disana, CEO Dion telah
menduduki kursinya beserta dengan para pemegang saham yang sudah menunggu Zidan
sedari tadi.
“Maafkan saya karena terlambat.”
kata Zidan.
“Baiklah saya akan memulainya.
Selamat siang. Terima kasih telah meluangkan waktu anda untuk hadir dalam rapat
ini yang akan membicarakan data anggaran dan penjualan tahun ini. Sebelumnya…
saya ingin meminta maaf, bahwa data tersebut telah hilang.” jelas Dion.
“Apa?”
“Apa maksudmu?”
“Itu sangat penting untuk kami
mengetahui keuntungan yang kami dapat.”
“Bagaimana
bisa?” para pemegang saham berkomentar.
“Saya
meminta maaf mewakili karyawan saya yang telah lalai mengurus hal itu.” kata
Dion sambil membungkukan badannya.
(Zidan
tersenyum)
“Bagaimana
bisa kamu mengucapkan maaf seperti itu, jelas ini salahmu bukan karyawanmu.
Jika saja kamu memperhatikannya lebih baik tidak akan terjadi seperti itu.”
“Semenjak
perusahaan ini dibawah naunganmu tidak ada yang beres. Hal tak terduga terus
saja terjadi. Ketika ayahmu memberikan semua sahamnya kepadamu, kamu tidak bisa
menjaganya justru malah mengacaukannya. Bagaimana nasib perusahaan ini? Berita
kematian salah satu karyawan pun sudah terekspos. Membuat investor jadi enggan
menaruh sahamnya kepada kita.”
“Cukup Pak. Berikan adik saya waktu
untuk menjelaskannya. Ini sepenuhnya bukan salah dia. Tapi ini salah kita
semua, kenapa kita hanya harus mengandalkan satu orang jika orang lain juga
bisa kita andalkan.” sahut Zidan dengan senyuman sambil melirik Dion.
(Dion hanya menatapi abang nya itu)
“Maksud pak Zidan kita harus memilih CEO
yang baru?” kata seorang pemegang saham.
“Saya tahu anda paham.” jawab Zidan.
“Tidak bisa begitu pak. Saya baru
beberapa hari duduk di kursi ini dan belum waktunya saya berdiri dari kursi
ini. Harus sesuai dengan perjanjian kontrak.” sambung Dion.
“Perjanjian itu bisa berakhir ketika
orang yang menandatangani perjanjian itu tidak memenuhi isi perjanjian itu. Dan
anda tidak bisa memenuhinya.”
(Dion menghelas napas)
(Zidan hanya menonton perdebatan itu
dengan senyum)
Rapat
pun selesai.
***
Di
kantor kepolisian, Dina terlihat diam memikirkan sesuatu. Ya! Dia memikirkan
tawaran yang ditawarkan oleh Dion untuk bekerja sama menuntaskan kasus
pembunuhan yang terjadi olehnya. Sesekali, Ia sempat kepikiran Ketua Tim.
Apakah yang dimaksud dengan Dion itu benar Frans Ketua Tim? Kemudian dia juga
mengingat-ngingat ekspresi Frans ketika Dina sedang mengajaknya berbicara
dengan rekan yang lain mengenai gelang X yang diduga milik pelaku. Ketua Tim
memilih pergi dari ruangan itu. Tiba-tiba Gosa dan Rafi menepuk pundak Dina,
membuat dirinya terbangun dari lamunannya.
“Lagi mikirin apa sih?” kata Rafi.
“Oh. Gak. Gak lagi mikirin apa-apa.”
“Ohiya, ada berita terbaru dari tim forensic.
Kematian wanita dari perusahaan SIMA itu benar-benar keracunan. Di dalam
minuman itu ada soda-soda yang membuatnya tidur dan melumpuhkan semua organ
tubuhnya. Sebenarnya wanita itu bisa diselamatkan jika ditemukan satu jam
setelah dia meminum dan dibawa kerumah sakit. Tetapi wanita itu justru
ditemukan tiga jam kemudian.” jelas Rafi.
“Tidak beruntung bagi dirinya.” sambung
Gosa.
“Tunggu.. jika memang benar dia
keracunan akibat minuman itu, kita bisa mendatangi pabrik minuman itu untuk
dimintai keterangan.”
“Percuma. Minuman itu tidak
terdaftar dalam produk apapun di Indonesia.” sahut Rafi.
“Hanya ada satu di dunia.” sambung
Gosa.
“Ini aneh. Jika memang hanya satu di
dunia, dari mana dia mendapatkan minuman itu?” tanya Dina.
“Augh aku lapar. Kita makan yuk. Hhmm..
mie ayam gimana? Sepertinya enak.” ajak Gosa.
“Setuju. Wah aku ingin yang
pedes-pedes.” sambung Rafi.
“Setuju. Aku ingin es campur, untuk
mendinginkan pikiranku.” kata Dina.
Akhirnya
mereka pun pergi meninggalkan kantor untuk makan. Ketika sudah berjalan sampai
lobbi, mereka bertemu dengan Zidan.
“Selamat siang pak. Wah ada keperluan
apa anda datang kemari?” tanya Gosa.
“Saya ingin menemui Ketua Tim. Apakah
dia ada di ruangannya?” jawab Zidan.
“Dia ada diruangannya pak.” jawab
Rafi.
Zidan
pun pamit pergi menuju ruangan Frans. Disaat seperti itu, Dina meraba-raba
kantongnya ternyata ponselnya tidak ada.
“Ada apa junior?” kata Gosa.
“Ponsel ku tidak ada. Coba aku lihat
ke meja ku dulu. Augh, aku tidak ingin kehilangan ponsel ku untuk yang kedua
kalinya. Kalian duluan saja, nanti aku nyusul.” kata Dina.
“Okay.”
Dina
pun kembali ke mejanya dan melihat suasana kantor tidak ada orang satu pun;
“Ketemu! Syukurlah.”
Ketika
Dina hendak pergi meninggalkan ruang kerjanya, Dina mendengar suara percakapan
serius yang berasal dari ruangan ketua tim. Ternyata disana ada Zidan dan
Frans. Dina pun mengambil kesempatan ini untuk menguping, apakah benar mereka
berdua saling berhubungan.
“Aku sangat senang sekali. Akhirnya aku
bisa membuat adikku berlutut. Aku sudah muak dengan gaya dia yang sombong, sok
memimpin perusahaan. Akhirnya, sebentar lagi perusahaan itu akan jatuh
ketanganku. Haha.” kata Zidan.
“Kerja bagus Tuan. Saya sangat beruntung
bertemu dengan orang sebaik anda. Jika saja anda tidak muncul waktu itu, ketika
ibu saya sedang dalam keadaan sekarat dan memberikan sejumlah uang untuk
operasi, ibu saya tidak akan hidup sampai sekarang. Terima kasih.”
“Tidak perlu mengucapkan terima
kasih sekarang. Saya hanya butuh orang yang bisa berada disamping saya tanpa pengkhianatan.
Saya benci pengkhianatan. Itu sebabnya karyawan wanita di perusahaan saya mati.”
“Jadi, anda yang membunuhnya?”
“Tidak. Saya tidak membunuhnya. Saya
hanya membuatnya tidur, karena dia sangat berisik. Saya tidak suka itu.”
Dina
yang menguping dari balik pintu sangat terkejut. Dengan mulut yang ditutup
dengan kedua tangannya sambil bergemetar, tidak menyangka bahwa ia mendengar
pernyataan itu langsung dari pembunuhnya. Kemudian buru-buru Dina mengambil
handphone untuk merekan semua percakapan mereka.
“Lantas, atas tujuan apa anda kemari
Tuan?” tanya Frans.
“Hm. Saat ini aku sedang tidak
nyaman dengan adikku. Dia membuatku gerah. Apakah kamu tau kalung milikku ada
dengan siapa? Dengan adikku. Dia mengambil kalung dan buku X dari kamarku.”
#Flashback
Ketika
Zidan keluar dari kamar mandi, ternyata ia melihat dari kaca yang berada didepannya
bahwa adiknya sedang mengumpat di bawah kolong meja sambil memeluk sebuah buku
dan kalung miliknya.
#FlashbackEnd
“Anda ingin melakukan apa?” tanya
Frans.
“Karena dia sudah membuka pedangnya,
aku harus menggunakannya. Tapi bukan aku yang melakukannya, tapi kau.” kata
Zidan. “Jangan sampai dia mati, hanya perlu menggoresnya sedikit untuk tidak
ikut campur dengan kasus seperti ini. Jika dia membantah, terpaksa aku harus
membunuhnya.”
“Apakah anda yakin?”
“Ya. Uhm dan satu lagi, kamu bilang
gelang milikmu ada pada wanita detektif itu? Saya yakin dia juga diam-diam mencari
tahu tentang X. Aku pikir, kita juga perlu sedikit menggores anak itu juga.”
Mendengar
hal itu, Dina semakin gemetaran. Tangan sampai kaki pun tidak bisa bergerak.
Dina mulai khawatir bahwa ia benar-benar akan dibunuh. Hingga pada akhirnya,
ponsel yang sedang merekam itu pun jatuh dari genggaman Dina. Dina panik,
berusaha untuk mengambil kembali ponselnya. Ia memilih untuk pergi namun
dirinya menabrak tong sampah yang mengakibatkan Frans dan Zidan berhenti dari
percakapannya akibat suara yang kencang dan membangunkan dirinya dari kursinya
bergegas keluar dari ruangan. Ketika Frans membuka pintu………… jreng…….!!!
~To
Be Continued Part Four~
Apa yang akan
dilakukan oleh Zidan dan Frans terhadap Dina?